Berharap Pendidikan Dasar Gratis 100 Persen

07.55 Posted In Edit This
Berharap Pendidikan Dasar Gratis 100 Persen

09 December 2008

Komitmen pemerintah menggratiskan pendidikan dasar harus diiringi komitmen yang kuat dari pemerintah provinsi.
Di Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Adalah wajar, bila Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun menjadi impian setiap warga negara Indonesia. Apalagi pendidikan gratis alias tanpa dipungut biaya terus didengung-dengungkan. Namun, pendidikan gratis itu sendiri masih sering disalahartikan.
Interpretasinya pun bermacam-macam. Ada yang mengartikan pendidikan gratis sebagai tidak membayar uang sekolah berikut dengan segala keperluan lainnya seperti buku, seragam, transportasi, dan sebagainya. Ada pula yang mengartikan pendidikan gratis hanya meliputi biaya operasional sekolah saja.
Berdasarkan PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, jenis biaya pendidikan ada tiga, yakni biaya operasional yang merupakan biaya input pendidikan yang habis pakai dalam satu tahun atau kurang. Atau, biaya yang dikeluarkan berulang-ulang setiap tahunnya meliputi biaya operasional personil dan biaya operasional nonpersonil. Dalam PP itu, pemerintah hanya menanggung biaya operasional sekolah seperti uang sekolah, gaji guru, dan sebagainya. Biaya transportasi siswa dari rumah ke sekolah dan sebagainya masih dibebankan pada orang tua.
Kedua, biaya investasi yang meliputi penyediaan sarana prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap yang penggunaannya lebih dari satu tahun. Ketiga, biaya pribadi yang merupakan biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang tua siswa.
Dari ketiga komponen biaya pendidikan tersebut, agaknya cukup sulit untuk mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia. Estimasi biaya ideal untuk menggratiskan pendidikan dasar tahun 2009, berdasarkan penelitian pakar pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah, Abbas Ghozali, termasuk bantuan operasional sekolah (BOS) saja dibutuhkan dana sebesar Rp 157.221.278 triliun.
Sementara, dana BOS pada 2009 yang mampu dikucurkan pemerintah untuk SD dan SMP hanya Rp 27,7 triliun. Dengan rincian BOS SD sebesar Rp 12,02 triliun dan BOS SMP sebesar Rp 5,7 triliun.
”Pendidikan dasar gratis tanpa pungutan memang masih sulit diwujudkan. Namun, komitmen menuju perwujudan pendidikan gratis semakin menguat seiring kenaikan anggaran,” ujar Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Dodi Nandika, di sela dialog publik bertajuk ‘Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Tanpa Dipungut Biaya, Mungkinkah?’ di, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), pekan lalu.
Menurut Dodi, komitmen pemerintah menggratiskan pendidikan dasar harus diiringi komitmen yang kuat dari pemerintah provinsi. Pasalnya, persoalan tersebut merupakan masalah bersama. ”Pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan anggaran yang besar untuk sektor pendidikan,” jelasnya.
Untuk menegaskan komitmen tersebut, Dodi menyatakan, pemerintah telah memasukkan satu pasal dalam UU APBN mengenai tanggung jawab pemerintah daerah untuk ikut menutupi kekurangan biaya operasional pendidikan tersebut. Peran pemerintah daerah tersebut sudah termaktub dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. ”Satu pasal dalam UU APBN, sebenarnya merupakan penegasan,” cetusnya.
Disinggung mengenai sanksi bagi daerah yang tidak memenuhi anggaran 20 persen dari APBD, Dodi mengatakan, bisa saja diberikan sanksi pengurangan alokasi bantuan pendanaan dari pusat. ”Bisa juga dari pengurangan program-program pendidikan. Karena ini merupakan amanat UU. Itu respons yang bisa dilakukan pusat jika daerah tak memenuhi amanat tersebut,” tegasnya.
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zainul Majdi, menyatakan, pihaknya agak berbeda pendapat dengan pemerintah pusat. Ia mengaku lebih menginginkan pendidikan dasar gratis hanya untuk warga miskin di wilayahnya. Tak hanya bagi siswa SD dan SMP, lanjut dia, tapi juga untuk siswa SMA dan mahasiswa.
Zainul menyatakan, yang dibutuhkan siswa miskin tak hanya bantuan BOS. Tapi juga seragam, transport, dan buku-buku. ”Inilah yang ingin kami penuhi, gratis untuk siswa yang miskin saja,” jelasnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi X DPR Mujib Rohmat mengatakan, ada tiga komponen yang bertanggung jawab dalam pendidikan, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Untuk merealisasikan pendidikan gratis dan berkualitas memang masih jauh. ”Namun, pemerintah dan DPR sebenarnya telah berkomitmen mempercepat harapan merealisasikan pendidikan gratis dan bermutu,” ujarnya.
Menurut Mujib, Wajar Dikdas Sembilan Tahun tanpa dipungut biaya selama ini masih dalam wilayah kebijakan politis. Tapi, untuk mencapai wilayah teknis, harus dilakukan pemantauan di masing-masing daerah. ”Ini pekerjaan yang tak mudah dan membutuhkan proses yang relatif panjang,” jelasnya.(R)

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar

07.55 Posted In Edit This

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar



Oleh : Marjohan

Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

UMUMNYA para pendidik telah mengenal bahwa fokus pengajaran murid-murid sekolah dasar adalah agar murid menguasai kemampuan dasar yang tercakup dalam rumus 3-R. yaitu Arismetik, reading dan writing. Atau dengan kata lain penguasaan dalam berhitung, membaca dan menulis.

Bagaimana penguasaan murid-murid atas kemampuan dasar ini, orang melihat sesuai dari kaca mata mereka masing-masing. Tidak sedikit orang, yang mengatakan bahwa kemampuan dasar murid dalam berhitung, membaca dan menulis telah mantap begitu mendengar bahwa di sekolah yang bersangkutan ada segelintir murid yang memperoleh NEM yang cukup baik.

Namun secara umum kalau kita perhatikan sertifikat NEM anak-anak Yang mendaftar ke tingkat SLTP banyak menunjukkan angka kemampuan berhitung, Kita sebut saja nilai matematika yang begitu jelek. Dapat kita perkirakan bahwa kemampuan mereka dalam membaca dan menulis juga jelek.

Untuk mencek kemampuan membaca murid pada tingkat SLTP dan SLTA dapat dicek lewat pemanfaatan buku-buku teks mereka. Ka1au kita mengunjungi perpustakaan sekolah tingkat SLTP dan SLTA maka akan kita jumpai tumpukan buku-buku teks yang lumayan banyaknya tanpa ada disentuh atau dimanfaatkan. Meskipun untuk menyediakannya pemerintah telah menghabiskan milyaran rupiah dari proyek penyediaan buku-buku. Begitu pula dengan buku-buku teks yang ada di dalam tas sekolah mereka, terlihat masih utuh sebagai tanda bahwa belum dimanfaatkan walau tidak semua murid yang bersikap demikian). Ini akibat kebiasaan murid yang. gemar menghafal catatan pelajaran mereka, ketimbang menganalisa buku-buku teks pelajaran mereka.

Pada akhir tahun di kelas tiga, tingkat SLTA, siswa musti menyelesaikan sebuah karya tulis sebagai syarat untuk dapat mengikuti EBTA dan EBTANAS. Tetapi mereka seolah-olah mencerminkan ketidakmampuan dalam menulis karya tulis. Dan memang kenyataannya mereka betul-betul banyak yang tidak mampu dalam menulis karya tulis yang begitu sederhana. Sehingga mereka terpaksa menempuh jalan curang, misalnya, dengan memalsukan karya tulis kakak kelas yang telah lulus pada tahun lain.

Dari sebuah dialog ringan dengan mahasiswa KKN tertangkap kesan tentang melemahnva semangat mahasiswa dalam peningkatan SDM. Pergi kuliah hanya asal-asalan saja. Banyak mereka yang enggan datang ke kampus dan suka menitipkan absen. Hari-hari mereka lewati dengan hura-hura. Kemudian pada musim tentamen mereka suka menggunakan jimat, catatan kecil, ala anak SMU atau mencari sopir ujian. Sebab sang dosen tidak mungkin dapat mengenali semua mahasiswanya karena itulah suatu stereotype, atau pandangan umum, bahwa hubungan dosen dan mahasiswa adalah "siapa lu dan siapa gua". Dengan kata lain hubungan mereka adalah sebatas membayar kewajiban saja, yang penuh dengan ketidakacuhan atau ketidakpedulian.

Banyak tudingan bahwa kebodohan murid di sekolah berawal dari kenakalan karena orang tua mereka ada yang "'broken" atau orang tua tidak peduli dengan pendidikan anak. Itu sangat benar. Tetapi ada pula malah orang tua begitu peduli dengan pendidikan anak, dan lingkungan sosial anak begitu sehat. Malah si anak kok begitu sudi mengungkapkan ingin untuk tarik diri dari dunia sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran demi pelajaran. Kendala yang dialami oleh anak atau murid seperti ini disebabkan karena rendahnya kemampuan membaca mereka. Barangkali penyebabnya adalah karena di dalam keluarga mereka tidak dibiasakan budaya membaca. Buku-buku dan majalah adalah benda langka untuk dijumpai.

Bukan berarti orang tua mereka tergolong tidak mampu. Malah orang tua dapat memenuhi kebutuhan permainan elektronika mungkin karena bersaing dengan anak tetangga. Dan begitu pula orang tua mereka mampu membeli sarana hiburan yang serba mewah meski sebagai prestise dan menunjukkan kepada lingkungan, karena sebagian orang kita bermental suka pamer, bahwa mereka termasuk orang yang cukup "the have".

Dalam zaman global informasi dan komunikasi ini, masih cukup banyak orang tua yang berfikiran mundur. Mereka akan mengatakan. bahwa berlangganan majalah itu percuma sebab tidak akan mengenyangkan perut. "Bukankah uangnya lebih baik untuk dibelikan sama kue", demikian menurut orang tua yang bersikap "stomach oriented". Ada lagi orang tua yang mencela anaknya yang sudah mulai gemar membaca sebagai membuang-buang waktu. Image seperti ini diperoleh dari keluarga pedagang dan tentunya tidak semua pedagang yang begitu, dimana bagi mereka waktu adalah benar-benar uang.

Murid-murid yang melarikan diri dari sekolah bisa jadi karena kejenuhan di dalam kelas karena tidak menguasai pelajaran. Rasa jenuh dapat mendatangkan rasa benci pada pelajaran dan berakhir dengan perseteruan antara guru-guru.

Macetnya komunikasi guru-murid dalam kelas disebabkan kepasifan murid dengan sikap yang suka membisu dalam seribu bahasa. Banyak juga guru yang kesal, begitu ia serius dalam proses belajar mengajar dan bertanya untuk mendapatkan umpan balik. Dan ketika ditanya "apakah kamu sudah paham atau belum mengerti", dijawab oleh murid dengan wajah "no comment"

Kesulitan murid dalam memahami pelajaran dan kepasifan murid dalam berkomunikasi, secara lisan dan tulisan, adalah karena anak atau murid lemah dalam kemampuan membaca. Penyebabnya karena mereka tidak terlatih dengan budaya membaca sejak dini.

Membaca adalah satu bagian dari aspek berbahasa. Dan bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan fikiran. Orang yang bahasanya teratur maka fikirannya juga teratur. Sebaliknya dalam bahasa yang macet terdapat pula kemacetan dalam berfikir. Dan rata-rata murid yang macet dalam berfikir. Dan inilah yang harus kita atasi secepatnya.

Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pelajaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan bagi anak mereka dana khusus agar anak mereka dapat berlangganan majalah anak-anak.

Tampaknya hanya segelintir saja orang tua yang mampu baru mendorong anak mereka untuk membudayakan membaca di rumah. Dan cukup terbatas pula jumlah orang tua yang punya kelebihan dan untuk berlangganan majalah anak-anak. Tampaknya masih ada usaha lain yang dapat diterapkan oleh guru-guru untuk mengembangkan kebiasaan anak dalam membaca yaitu pemanfaatan pustaka sekolah.

Pernah suatu ketika seorang guru sekolah dasar mengatakan bahwa murid-muridnya cukup mempunyai minat dalam membaca. Buktinya kalau ada buku bacaan, murid-murid itu berebutan tidak sabar ingin memperolehnya. Tetapi sayang, katanya, sekolah itu tidak mempunyai guru perpustakaan.

Mestikah guru yang demikian tidak bertindak untuk menyalurkan keinginan anak untuk membaca dengan alasan tidak ada tenaga guru perpustakaan? Sementara itu murid yang dihadapinya sebagai guru kelas cuma berjumlah 25 orang, murid saja. Kita rasa dalam jumlah murid yang kecil itu guru kelas mungkin dapat mencari jalan keluarnya. Misalnya saja membawa buku bacaan sebanyak jumlah murid dan meminjamkannya untuk dibaca di rumah. Kemudian bagi yang banyak membaca kita kaitkan dengan nilai bahasa mereka, misalnya.

Pemanfaatan buku-buku bacaan seperti cara diatas cukup bermanfaat dalam pengembangan keterampilan membaca murid. Adapun untuk pengembangan keterampilan menulis adalah dengan membiasakan pemberian "tugas mengarang" kepada murid. Ada seorang penulis yang sangat terkesan akan gurnya ketika ia masih bersekolah di SD. Gurunya mewajibkan setiap murid untuk mengarang setiap minggu dan membacakannya di depan kelas. Inilah titik awal kenapa ia tertarik dalam bidang penulisan setelah dewasa. Cara seperti ini sungguh bermanfaat untuk diterapkan oleh guru-guru sejak sekolah dasar, terus ke tingkat SLTP dan SLTA oleh guru bidang studi bahasa Indonesia. Apabila kebiasaan pemberian mengarang ini dilakukan oleh guru-guru secara kontinyu dan terprogram, maka insya Allah kita tidak melihat lagi siswa-siswi SMU kasak kusuk dalam menulis karya ilmiah sederhana. Dan begitu pula kebiasaan mahasiswa, calon sarjana, tidak akan lagi menciptakan skripsi "aspal" alias asli tapi palsu. Kita yakin kalau kemampuan menulis generasi kita sudah bagus, maka bursa penulisan skripsi liar tidak akan pernah ada lagi.

Masih ada lagi, agaknya, usaha yang kita lakukan untuk peningkatan SDM anak didik sedini mungkin. Misalnya membuat papan tempat berkreasi, semacam majalah dinding ala, siswa SLTA, dimana murid-murid SD dapat menempelkan kreasi-kreasi mereka apakah berupa gambar, puisi, cerpen dan lain-lain pada papan kreasi tersebut. Kita yakin bahwa animo murid-murid SD untuk berkreasi cukup tinggi karena pada dasarnya anak-anak kecil suka memamerkan kebolehannya. Demikianlah renungan kita dalam usaha peningkatan SDM sedini mungkin sejak sekolah dasar.

Pencanangan Pendidikan Dasar Gratis

07.53 Posted In Edit This
Pencanangan Pendidikan Dasar Gratis


Minggu, 17 Agustus 2008

Pendidikan Dasar Gratis Dicanangkan 17 Agustus 2008
Walikota Kota Semarang dalam amanat Upacara Peringatan HUT Ke-63 Republik Indonesia yang dibacakan oleh Drs. H. Sri Santoso dalam Upacara Bendera di halaman Dinas Pendidikan Kota Semarang telah mencanangkan pelaksanaan kebijakan pendidikan dasar gratis, Sejak saat ini, diharapkan, di wilayah Kota Semarang tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak bisa menempuh pendidikan. Hal ini sesuai yang telah disampaikan oleh Wali Kota Sukawi Sutarip pada rapat koordinasi (rakor) dengan para kepala sekolah negeri di SMA 1, Rabu (6/8). Rapat koordinasi yang diikuti kepala SD/SMP/SMA/SMK se-Kota Semarang itu membahas sejumlah persoalan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan, mulai dari PPD, sekolah gratis, bantuan penyelenggaraan pendidikan (BPP), hingga penarikan sumbangan pengembangan institusi (SPI).
’’Pemkot sudah bertekad, seluruh anak usia SD/SMP di Kota Semarang harus bisa sekolah. Hal itu berkait dengan pemberlakuan kebijakan pendidikan dasar gratis, mulai tahun ajaran 2008/2009, kata dia Sebelumnya, pernyataan senada juga disampaikan Wali Kota, ketika membuka dialog dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Kampung Bedagan, Kelurahan Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah. Di hadapan para anggota Paguyuban KIM/FIM serta Paguyuban Pemerintah, Tokoh Agama, dan Tokoh Masyarakat (Petamas), Sukawi menandaskan keinginan Pemkot untuk ’’menyekolahkan’’ semua anak usia sekolah di Semarang. ’’Semua anak usia SD/SMP harus bisa diterima di sekolah. Tidak peduli dia pandai atau bodoh, kaya atau miskin,’’ kata dia.
Bila ada anak miskin yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena terbentur biaya, menurut Wali Kota, Pemkot akan memikirkannya. ’’Jangan khawatir, dana pemerintah cukup untuk itu,’’ ujarnya.
Pendataan
Secara khusus Wali Kota meminta pengurus RT/RW di 177 kelurahan se-Kota Semarang melakukan pendataan terhadap anak usia sekolah di wilayah masing-masing. Data itu diperlukan untuk memastikan, tidak ada anak usia sekolah yang tidak bisa menempuh pendidikan. Pendataan itu mencakup mereka yang sudah bisa bersekolah dan anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena berbagai hal. Dia memberikan batas waktu kepada pengurus RT untuk melakukan pendataan, sebelum 17 Agustus 2008. Para lurah dan camat diminta untuk terjun langsung memantau pendataan tersebut.

Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros

07.52 Posted In Edit This
Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros

Selasa, 06 Juni 2006 00:24 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 56 penyimpangan sebesar Rp 25,984 miliar di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta. Itu baru hasil pemeriksaan BPK pada semester kedua 2005, khusus kinerja Dinas pada tahun anggaran 2004.Anggota BPK Baharuduin Aritonang mengatakan, BPK telah mengeluarkan rekomendasi untuk setiap kasus yang ditemukan. Termasuk rekomendasi itu adalah pemberian sanksi kepada petugas yang terlibat dan pengembalian uang ke kas negara.BPK telah melaporkan semua temuan itu ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Kami sudah laporkan. Selanjutnya Dewan yang harus mengejar," kata Baharudin.BPK membagi penyimpangan di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi ke dalam dua kategori. Pertama, penyimpangan terhadap azas kehematan. Jumlahnya mencapai 33 kasus dengan nilai pemborosan sekitar Rp 5,713 miliar."Sebesar Rp 3,338 miliar tergolong merugikan keuangan negara," tulis BPK dalam dokumen laporan yang diterima Tempo.Termasuk dalam kategori pemborosan, misalnya, pembayaran ganda ganda akomodasi dan konsumsi pada loka karya peningkatan mutu SMA sebesar Rp Rp 437 juta, proyek pengadaan buku pelajaran dan perpustakaan kemahalan sekitar Rp 954 juta, dan pengadaan program Pesona Fisika dan Multimedia untuk SMA yang tidak sesuai aturan sebesar Rp 1,272 miliar.Jenis temuan kedua adalah penyimpangan yang mengakibatkan tak tercapainya tujuan program. Jumlahnya ada 33 kasus dengan nilai penyimpangan sekitar Rp 20,271 miliar. Dari jumlah itu, yang dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 191 juta.Jadi, menurut BPK, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta paling tidak harus mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 3,529 miliar.Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar membantah ada penyimpangan di lembaganya. "Tak ada penyimpangan, tak ada kerugian negara," kata Margani kepada Tempo di kantornya, Jumat (2/6) malam.Awalnya, kata Margani, Dinas menyambut baik keinginan BPK memeriksa. "Kami senang, karena kami pikir akan mendapatkan feed back." Tapi, kata Margani, saat pemeriksaan itu berakhir, "Kami kecewa dengan hasil pemeriksaan BPK."Menurut Margani, temuan BPK-lembaga audit tertinggi negara-itu bertentangan dengan temuan Badan Pengawasan Daerah yang juga memeriksa Dinas Pendidikan Menengah pada periode yang sama, Lembaga audit tingak provinsi itu, kata Margani, sama sekali tak menemukan penyimpangan.Meski begitu, Dinas Pendidikan Menengah kini tengah meneliti ulang temuan BPK. Termasuk yang diteliti itu temuan pembayaran ganda akomodasi dan konsumsi workshop peningkatan mutu SMA."Kami heran mengapa kasus itu masih dipublikasi. Kami sebelumnya telah memberi tanggapan, itu sesuai anggaran dalam daftar isian proyek." Jika dalam penelitian ulang temuan BPK tidak terbukti, kata Margani, "Dinas tak akan mematuhi rekomendasi BPK."INDRIANI DYAH S

Madrasah, Pendidikan Sebelah Mata

07.51 Posted In Edit This

Madrasah, Pendidikan Sebelah Mata


Mendengar kata Madrasah, masyarakat biasanya mengarah pada sekelompok siswa yang belajar ditempat yang sangat tradisional dan gurunya pun jauh dari bobot guru Sekolah. Kata kuncinya tradisional dan Islam. Tradisional dalam segala hal dan Islam yang tidak memiliki fasilitas yang dimiliki Sekolah dibawah Departemen Pendidikan. Walaupun sekarang citra tersebut berusaha diubah oleh Departemen Agama, tetapi Madrasah masih selalu menjadi second choice. Siswanya berasal dari siswa yang tidak diterima disekolah negeri, tentunya itu tidak termasuk bagi Madrasah yang jauh lebih maju dari Sekolah di daerah tertentu.

Saya merasa sedih melihat kenyataan ini. Masyarakat (Muslim) masih mengagungkan sistem pendidikan dengan content Pendidikan Agama Islam yang hanya 2 jam pelajaran setiap minggunya. Apakah ini yang menyebabkan banyak Muslim Indonesia sangat berani melakukan kejahatan sosial?. Belajar di Madrasah tidak sekedar agar terampil melakukan ritual keislaman tetapi juga membentuk karakter Islami dalam setiap degup darah generasi muda yang nantinya menjadi manusia indonesia yang mengatur wilayahnya sendiri; kepala keluarga, kepala lingkungan, kepala kantor, bupati, DPR, Presiden atau Pimpinan dalam komunitas khas.

Madrasah mengacu standart isi Departemen Pendidikan Nasional dan content Pendidikan Islam yang jauh lebih mendalam ketimbang sekolah. Mengapa Saudara tidak menjadikan Madarasah sebagai pilihan utama ketika Saudara menanamkan Pendidikan bagi Putra-Putri Saudara. Sains dan tekhnologi juga diajarkan di Madrasah lalu diimbangi dengan Pendidikan Agama Islam, saya yakin ini adalah pilihan yang sangat tepat untuk menciptakan Generasi yang cerdas dan taat mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya.

Saya cukup terpana ketika ada Saudara muslim tidak tahu RA, MI, MTs,dan MA, STAIN, IAIN, UIN itu pendidikan apa. Apakah ini produk dari ketidakpedulian orangtuanya dulu yang juga nggak care terhadap Pendidikan Islam yang seharusnya menjadi nafasnya?. Kalau Pendidikan Islam tidak maju di negeri ini, itu juga karena Umat Islam tidak mau memajukannya tetapi lebih silau dengan tipe pendidikan lainnya.

Tulisan ini adalah bentuk keprihatinan. Kalaupun toh namanya bukan Madrasah, alternatifnya, Sekolah sangat terdesak untuk menambah jam pelajaran PAI. Siapa yang mendesak? Dekadensi moral yang semakin menjiwai negeri yang selalu TERSENYUM INI. Maaf.