Pendidikan Anak berkebutuhan khusus belum menikmati pendidikan
06.56 Posted In 1.7. Pendidikan Khusus Edit This
Jakarta, Kompas - Kurang dari 5 persen anak-anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang menikmati layanan pendidikan. Dari perkiraan 1,5 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, baru 66.000 anak yang mendapat layanan pendidikan.
Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PLSB) Departemen Pendidikan Nasional, di Jakarta, Selasa (6/11), mengatakan, kapasitas anggaran Direktorat PLSB belum mampu memenuhi keperluan pembangunan pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, sikap masyarakat yang masih menganggap kecacatan itu sebagai "aib" juga menyebabkan banyak keluarga yang tidak mengizinkan anak-anak berkebutuhan khusus mengakses layanan pendidikan.
Dahlan Danu, anggota staf Direktorat PLSB, mengatakan, layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini ditingkatkan dari segi akses layanan itu sendiri sehingga mudah dijangkau dan juga sosialisasi agar anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapatkan hak yang sama seperti anak-anak lainnya.
"Untuk daerah yang jumlah anak berkebutuhan khusus cukup banyak diusahakan untuk dibangun SLB atau sekolah luar biasa. Tetapi sekarang yang dimasyarakatkan juga adalah terbentuknya pendidikan inklusi. Cara ini diharapkan akan mempermudah akses layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus sehingga semakin banyak anak yang menikmati pendidikan," kata Dahlan.
Ny Tumpal, warga Jakarta, memiliki seorang anak perempuan, Debora (11), yang menyandang tunarungu. Jarak SLB B yang jauh dari rumah lama-lama menjadi kendala untuk anaknya terus melanjutkan sekolah.
Dalam beberapa tahun ini pendidikan inklusi di Indonesia—di mana anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah bersama anak- anak lain di sekolah umum—mulai tumbuh di masyarakat. Saat ini tercatat 796 sekolah inklusi yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.
"Perkembangan pendidikan inklusi, terutama dalam menerima anak berkebutuhan khusus, bisa dikatakan cukup bagus. Tinggal bagaimana jumlahnya terus ditingkatkan, ya tergantung dari sejauh mana imbauan pemerintah agar pendidikan inklusi itu direspona sekolah," kata Dahlan.
Untuk sekolah inklusi, pemerintah menyediakan bantuan dana seperti block grand. Bantuan itu untuk membangun fasilitas atau prasarana yang dibutuhkan untuk mempermudah anak-anak berkebutuhan khusus menikmati pendidikan di sekolah itu. Guru pendamping SLB dihadirkan di sekolah, terutama di tingkat pendidikan dasar sampai anak-anak berkebutuhan khusus bisa mandiri dalam pembelajaran. (ELN)
Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PLSB) Departemen Pendidikan Nasional, di Jakarta, Selasa (6/11), mengatakan, kapasitas anggaran Direktorat PLSB belum mampu memenuhi keperluan pembangunan pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, sikap masyarakat yang masih menganggap kecacatan itu sebagai "aib" juga menyebabkan banyak keluarga yang tidak mengizinkan anak-anak berkebutuhan khusus mengakses layanan pendidikan.
Dahlan Danu, anggota staf Direktorat PLSB, mengatakan, layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini ditingkatkan dari segi akses layanan itu sendiri sehingga mudah dijangkau dan juga sosialisasi agar anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapatkan hak yang sama seperti anak-anak lainnya.
"Untuk daerah yang jumlah anak berkebutuhan khusus cukup banyak diusahakan untuk dibangun SLB atau sekolah luar biasa. Tetapi sekarang yang dimasyarakatkan juga adalah terbentuknya pendidikan inklusi. Cara ini diharapkan akan mempermudah akses layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus sehingga semakin banyak anak yang menikmati pendidikan," kata Dahlan.
Ny Tumpal, warga Jakarta, memiliki seorang anak perempuan, Debora (11), yang menyandang tunarungu. Jarak SLB B yang jauh dari rumah lama-lama menjadi kendala untuk anaknya terus melanjutkan sekolah.
Dalam beberapa tahun ini pendidikan inklusi di Indonesia—di mana anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah bersama anak- anak lain di sekolah umum—mulai tumbuh di masyarakat. Saat ini tercatat 796 sekolah inklusi yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.
"Perkembangan pendidikan inklusi, terutama dalam menerima anak berkebutuhan khusus, bisa dikatakan cukup bagus. Tinggal bagaimana jumlahnya terus ditingkatkan, ya tergantung dari sejauh mana imbauan pemerintah agar pendidikan inklusi itu direspona sekolah," kata Dahlan.
Untuk sekolah inklusi, pemerintah menyediakan bantuan dana seperti block grand. Bantuan itu untuk membangun fasilitas atau prasarana yang dibutuhkan untuk mempermudah anak-anak berkebutuhan khusus menikmati pendidikan di sekolah itu. Guru pendamping SLB dihadirkan di sekolah, terutama di tingkat pendidikan dasar sampai anak-anak berkebutuhan khusus bisa mandiri dalam pembelajaran. (ELN)