Adakah Terlalu Muluk Harapan Para Pelajar?

10.01 Posted In Edit This
Adakah Terlalu Muluk Harapan Para Pelajar? 


Telah terlalu letih memikirkan nasib bangsa. Seperti tak ada habisnya lara hidup di zamrud khatulistiwa (masihkah julukan itu patut disandang?). Kemiskinan, pengangguran, kebobrokan moral, kemerosotan ekonomi, friksi sosial, terorisme, pengkhianatan wakil rakyat, pemerintahan yang semerawut, kesehatan buruk, kebudayaan yang pudar, rusaknya tatanan hukum dan peradilan, hilangnya generasi muda harapan bangsa, kebodohan, keterpurukan pendidikan dan entah apa lagi. Pernah Saya mencoba melihat semua masalah itu dengan perspektif yang berbeda, yakni sebagai sarana evaluasi dan introspeksi bangsa. Pula saya coba menggunakan kacamata optimisme akan sebuah perubahan baru ke arah lebih baik seiring berjalannya waktu. Seiring bergulirnya roda kepemimpinan. Namun nihil. Tak berubah adanya. Sedih sungguh. Padahal seperti diketahui banyak orang, pendidikan yang baik adalah kunci utama solusi perbaikan bangsa. Melahirkan generasi unggulan adalah awal harapan kebangkitan negeri. Lalu mengapa pemerintah masih saja menomorduakan pendidikan?

Saya tak ubahnya pelajar SMA lain di Indonesia. Mengenyam pendidikan dan menelan pahitnya sistem dan kurikulum yang terjabarkan. Berlapang dada menjalani tahun demi tahun proses pembelajaran di sekolah yang semakin membebani. Bukan hanya biaya, namun beban batin akan tekanan yang kami alami pun semakin berat. Materi pelajaran, suka maupun tidak, berguna atau tidak, harus kami kuasai. Jangan harap minat, bakat maupun kreativitas kami diperhitungkan. Kurikulum hanya berisi penjejalan akan materi dan hafalan -dengan buku tebal yang semakin tak terjangkau harganya-, bukan fokus pada life-skill dan minat serta bakat seseorang. Sekolah hanya ajang pemajangan angka-angka sebagai patokan keberhasilan. Lalu dikemanakan penghargaan atas usaha, jerih payah dan pengorbanan dalam menjalani seluruh proses tersebut? Apabila diandaikan para calon pelajar yang hendak masuk sekolah sebagai tanda tanya -penuh dengan semangat keingintahuan akan banyak hal- akan keluar dari sekolah sebagai tanda seru -yang hanya mengangguk patuh pada otoritas, pada kemunafikan, tak lagi mengenal dirinya sendiri-.

Apa yang selama ini dikeluhkan kakak kelas akan beratnya beban sebagai siswa kelas 3 SMA kini Saya rasakan juga. Kabar akan ada 6 pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional 2006 ini menambah mumet pikiran. Belum lagi standar kelulusan yang dinaikkan. Jelas sudah akan banyak pelajar yang cita-citanya terhambat deretan angka yang seakan menjadi penentu hidup mati. Padahal kami tahu pasti rahasia umum tentang mudahnya nilai palsu dapat bergulir bagi mereka yang berduit. Kelulusan telah berkaitan erat dengan amplop yang dianalogikan sebagai tanda terimakasih. Sedang kelulusan pun ternyata bukan tolak ukur keberhasilan seseorang di masyarakat, bukti ketidaktepatan sistem yang ada.

Saya tak sekedar bicara, ikut mengekor pendapat para pengamat pendidikan yang memang ahli di bidangnya. Saya adalah salah satu korban kemunafikan pendidikan, yang sesungguhnya berisi tekanan, kekerasan, intervensi dan doktrin. Sekedar berbagi, Saya pernah merasakan ditampar, diintimidasi, diintervensi hingga diteror oleh salah seorang guru pembina ekstrakurikuler pencinta alam (Saya sebagai ketua) di SMA saya terdahulu, sebelum akhirnya tahun lalu saya pindah sekolah. Lama dipendam, Saya dan teman-teman berniat melaporkannya pada guru BP dan Kepala Sekolah. Orang tua Saya -sujud syukur Saya dikaruniai orang tua yang selalu mendukung dan tak henti mengirim doa bagi anaknya- turut membantu proses ini karena apa yang dilakukan telah melampaui batas, hari-hari kami -para anggota ekskul- hanya diisi untuk melayani perintah-perintah pembina kami tersebut. Boro-boro memikirkan pelajaran, yang ada justru rasa takut dan hari-hari dihiasi mimpi buruk. Salah seorang teman Saya pernah disiram kopi panas, dan anggota perempuan ekskul kami dipaksa untuk menjalin hubungan khusus dengan guru tersebut. Namun rupanya memperjuangkan kebenaran bukanlah suatu hal yang mudah. Bahkan setelah diancam akan membawa kasus kepada pihak berwajib dan melibatkan media, pihak sekolah terus saja mempersulit. Guru-guru lain berpandangan sinis dan menganggap kami berlebihan. Walau Kepala Sekolah satu-satunya yang dengan netral mendengar aspirasi kami.

Kasus ini tak pernah muncul ke media, hanya kali ini saja saya bercerita, pun tanpa menyebut nama sekolah dan pihak-pihak yang terkait. Bukan maksud hati, membuka luka lama karena masalah pun sudah diselesaikan dengan pemberian maaf dari para korban kekerasan berkedok pendidikan ini. Padahal beberapa diantara kami -saya salah satunya- sempat mengalami depresi dan trauma psikis. Namun sudahlah, realita berbicara bahwa para pelajar tak pernah didengar, apalagi diperjuangkan haknya. Mungkin banyak juga kawan-kawan di nusantara yang mengalami hal serupa. Kekerasan yang terselubung dalam pendidikan kita. Cukuplah cerita ini sebagai curahan hati atas apa yang pernah saya dan teman-teman alami.

Sebenarnya, adakah terlalu muluk harapan kami -para cahaya yang hampir padam-, untuk mendapat hak pendidikan yang layak? Belaka mimpikah angan kami untuk benar merasakan arti sesungguhnya dari pendidikan? Jawablah dengan hati, dengan cinta, duhai para petinggi pendidikan negeri.