Ketika Pendidikan Seni Terpinggirkan
09.40 Posted In 1.4. Pendidikan Nonformal Edit ThisKetika Pendidikan Seni Terpinggirkan
Dalam menghadapi era globalisasi industri dan perdagangan bebas yang akan datang, berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia berbenah diri mempersiapkan sumber daya manusianya. Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni menjadi perhatian utama dalam upaya pengembangan dan penguasaannya di masa datang. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan perubahan terhadap kurikulum pendidikan dasar dan menengah secara Nasional serta memberikan keleluasaan kepada daerah-daerah untuk menerapkannya sesuai dengan kondisi daerah setempat, yaitu dengan memanfaatkan kurikulum muatan lokal.
Sumatera Barat adalah salah satu daerah agraris di Indonesia. Kondisi geografisnya yang terdiri dari dataran tinggi (pegunungan) dan dataran rendah (pesisir) menghasilkan pemandangan yang sangat menakjubkan yang apabila diolah secara profesional dapat menjadi objek wisata yang indah. Data-data tersebut di atas memberikan panduan kepada kita dalam pembentukan kurikulum muatan lokal berikut arah dan sasaran pendidikan yang akan dicapai.
Secara Nasional, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi prioritas utama dalam kurikulum, sehingga mata pelajaran Matematika dan IPA mendapat perhatian dan porsi yang khusus dalam kurikulum dengan meminggirkan beberapa mata pelajaran lain yang dianggap kurang bermanfaat bagi perkembangan zaman. Salah satu mata pelajaran yang terpinggirkan tersebut adalah pendidikan seni.
Di dalam pertemuan-pertemuan ilmiah dan makalah-makalah pakar, selalu disebutkan secara berangkai kata-kata ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Tetapi kenapa yang menjadi prioritas pembangunan pendidikan hanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi saja ? Dari mana unsur seni akan diterima oleh peserta didik ?
Sebenarnya peran pendidikan seni bagi seorang peserta didik adalah sangat penting. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi selalu diiringi dengan jiwa yang memiliki nilai-nilai seni sehingga karya cipta yang dihasilkan memiliki nilai-nilai estetis. Bahkan dalam sebuah seminar di Fakultas Teknik Universitas Andalas, seorang pakar konstruksi mesin, Dr.Ing. Mulyadi Bur pernah mengemukakan bahwa tanpa seni, ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi hampa.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sudah sepantasnyalah pendidikan dasar dan menengah dapat mempersiapkan manusia Sumatera Barat yang kompetitif untuk menghadapinya. Pariwisata, seni dan budaya yang dikatakan mampu memberikan kontribusi kepada daerah dalam bentuk pendapatan asli daerah (PAD) haruslah ditunjang dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai dari putra-putra daerah ini. Oleh karena itu, untuk dapat lebih terarah dan mempersempit masalah, disini penulis tertarik untuk membahas kurikulum muatan lokal Sumatera Barat yang meminggirkan dan menutup mata terhadap mata pelajaran pendidikan seni.
Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah pendidikan seni mendapatkan porsi yang lebih dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Penempatan pendidikan seni sebagai mata pelajaran muatan lokal adalah terobosan yang amat baik guna menunjang program pembangunan dan pendidikan daerah.
Beberapa peserta didik di sekolah-sekolah di kota Padang, berdasarkan pantauan penulis, banyak yang menambah dan menimba ilmu pengetahuan di bidang seni di luar sekolah, seperti : sanggar-sanggar tari, sanggar-sanggar musik, bina vokalia, rental band dan sebagainya. Hal ini sebenarnya sudah cukup bagi semua pihak untuk melihat sebuah fakta peserta didik telah menganggap bahwa pendidikan dan pengembangan nilai-nilai seni yang diperolehnya di sekolah sudah tidak memadai untuk pengembangan kemampuan dirinya di bidang seni dan menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai seni yang ada di dalam dirinya.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis memberikan saran kepada sekolah-sekolah di seluruh Sumatera Barat untuk dapat memberikan porsi yang lebih kepada mata pelajaran pendidikan seni dalam bentuk mata pelajaran muatan lokal, karena sekolah memiliki wewenang untuk itu. Dan diharapkan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan memberikan dukungan positif bukan memberikan respon tidak menentu sambil menunggu tanggapan atasan seperti yang sering terjadi selama ini.
Kendala kekurangan sumber daya manusia dalam hal ini guru (tenaga pengajar) sudah tidak dapat dijadikan alasan, karena saat ini sangat banyak lulusan Jurusan Pendidikan Sendratasik IKIP Padang (sekarang UNP) dan ASKI Padangpanjang (sekarang STSI) yang tersebar hampir di seluruh daerah di Sumatera Barat yang memiliki ilmu dan skill yang memadai untuk itu. Sekarang hanya tinggal kemauan dari pihak sekolah untuk menyelenggarakannya.
Dampak positif dari penyelenggaraan mata pelajaran pendidikan seni sebagai mata pelajaran muatan lokal sangat banyak. Pertama, dengan menempatkan mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran muatan lokal, maka pemamfaatan sekolah sebagai media pengembangan jiwa seni peserta didik menjadi lebih optimal. Kedua, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan instansi terkait dapat memasukkan program-program daerah (bidang pariwisata, seni dan budaya) sebagai materi pelajaran, seperti : kesenian tradisional Minangkabau, objek-objek wisata budaya dan wisata alam Sumatera Barat dan sebagainya. Ketiga, dengan penekanan dalam hal praktek diharapkan setiap sekolah memiliki kelompok-kelompok seni yang siap terjun di berbagai even yang diadakan, baik oleh sekolah itu sendiri maupun even antar sekolah dan umum. Kelompok-kelompok tersebut, seperti : tim paduan suara, tim tari, tim band sekolah, tim drama dan teater tradisional sekolah (randai), tim musik tradisi, tim drum band, dan lain-lain. Keempat, memberikan peluang kerja bagi para calon tenaga pengajar (guru) bidang seni yang berpotensi.
Tanpa semua itu, jangan berharap dan berbangga akan menghasilkan dan memiliki peserta didik yang memiliki kemampuan seni yang handal. Akan sangat memalukan apabila saat ini SMA 1 Padang mengatakan Fanny Febiola ada berkat binaan sekolah atau Yeni Puspita pandai bernyanyi setelah belajar di SMA Pertiwi 1 Padang. Mereka memang bersekolah disana, tetapi mereka hadir, berkarya dan berkiprah di blantika musik Minang bukanlah karena binaan sekolahnya, melainkan bakat alam dan tempaan sanggar-sanggar bina vokalia.
Untuk menghindari semua itu, maka pembinaan sejak dini di sekolah sudah seharusnya dilakukan. Walaupun tidak mempersiapkan peserta didik menjadi seseorang yang handal dalam bidang seni, minimal sekolah dapat memberikan landasan berpijak yang memadai kepada peserta didik apabila di kemudian hari bidang tersebut ditekuni sebagai jalan hidupnya.