RESUME PENDIDIKAN
23.01 Posted In 5.0. RESUME PENDIDIKAN Edit ThisPOLITIK PENDIDIKAN
Politik pendidikan merupakan satu bidang kajian yang banyak diminati di universitas-universitas terkemuka di Eropa, Amerika dan Australia. Akan tetapi, bidang kajian tersebut belum familiar dikalangan ilmuwan dinegara-negara berkembang, termasuk Indonesia, baik ilmuwan pendidikan maupun ilmuwan politik.
Akar dari berbagai persoalan pendidikan yang muncul dalam suatu masyarakat tidak hanya terdapat diruang kelas tetapi ada juga dipusat-pusat kekuasaan, seperti gedung parlemen dan birokrasi. Berbagai persoalan pendidikan yang ada diberbagai negara berkembang, termasuk Indonesia tidak dapat dipahami jika hanya dilihat dari perspektif sosial dan politik. Mengawali pembahasan adalah hubungan politik dan pendidikan; diikuti fungsi politik institusi pendidikan; kontrol negara terhadap pendidikan; prospek kajian politik pendidikan; problem metodologi penelitian politik pendidikan; voter education; komunikasi politik dan demokrasi; serta radio dan pendidikan politik masyarakat.
I. Hubungan Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam system politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering terlihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk prilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradapan manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.
Diskriminasi saat ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonal Belanda antara lain kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan Non-Muslim ; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke-atas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa ; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi.
Akar dari berbagai persoalan pendidikan yang muncul dalam suatu masyarakat tidak hanya terdapat diruang kelas tetapi ada juga dipusat-pusat kekuasaan, seperti gedung parlemen dan birokrasi. Berbagai persoalan pendidikan yang ada diberbagai negara berkembang, termasuk Indonesia tidak dapat dipahami jika hanya dilihat dari perspektif sosial dan politik. Mengawali pembahasan adalah hubungan politik dan pendidikan; diikuti fungsi politik institusi pendidikan; kontrol negara terhadap pendidikan; prospek kajian politik pendidikan; problem metodologi penelitian politik pendidikan; voter education; komunikasi politik dan demokrasi; serta radio dan pendidikan politik masyarakat.
I. Hubungan Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam system politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering terlihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk prilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradapan manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.
Diskriminasi saat ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonal Belanda antara lain kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan Non-Muslim ; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke-atas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa ; (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi.
Pendidikan dan Sikap Kelompok
Dalam banyak kasus, hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respons mereka terhadap pendidikan Barat. Ketika bangsa Indonesia baru merdeka, partai-partai politik dan lembaga-lembaga kenegaraan banyak dikuasai oleh tokoh-tokoh sekular berpendidikan Barat yang tergabung dalam organisasi-organisasi nasionalis, seperti Boedi Oetomo dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Kelompok masyarakat yang merasa tertekan dan menjadi korban imperialisme budaya cenderung menginginkan sistem pendidikan terpisah, dalam rangka melindungi identitas kelompok mereka. Inilah yang terjadi pada sistem pendidikan di Indonesia, dibawah tekanan kelompok-kelompok bahasa dan agama minoritas. Beberapa pemerintah memenuhi tuntutan mereka, sementara yang lainnya memaksakan penyeragaman sistem pendidikan, dengan harapan dapat mengeliminasi bahaya laten perpecahan sosial. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberi peluang kepada berbagai kelompok etnis dan keagamaan untuk mengembangkan pendidikan tersendiri sehingga lahirlah Sekolah Arab, Sekolah Cina, Sekolah Kristen, Sekolah Islam, Sekolah Budha dan Sekolah Hindu.
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dalam masyarakat pluralis umumnya tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatan yang sama pada semua kelompok masyarakat, dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka. Hal ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada equality of opportunity dalam system pendidikan nasional. Kesempatan yang sama telah memungkinkan anak-anak negeri yang memiliki latar belakang sosial budaya berbeda-beda untuk belajar bersama dan mencairkan perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi diantara mereka.
Pendidikan dan Dunia Kerja
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Salah satu inovasi paling radikal yang disebabkan oleh pendidikan adalah meningkatnya ambisi pribadi. Untuk mempertahankan ambisi dan atau menghindari rasa malu akan kegagalan, banyak dianatara mereka yang memaksakan diri. Masalah pengangguran menjadi ujian penting bagi pemerintah dinegara-negara berkembang. Mereka dituntut untuk mengimbangi keberhasilan pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja. Di satu pihak, ekspansi pendidikan turut serta melahirkan instabilitas karena pendidikan melahirkan tuntutan yang seringkali tidak dapat dijawab oleh sistem politik.
Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Pada gilirannya, implementasi dari suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan pendidikan berdampak langsung pada akses, minat, dan kepentingan pendidikan pada stakeholder pendidikan, terutama orang tua dan peserta didik dan masyarakat pada umumnya. Dinamika hubungan timbal-balik antara pendidikan dan politik dalam suatu masyarakat terus meningkat, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
Besarnya peran sistem persekolahan dalam meruntuhkan kolonialisme terlihat jelas dalam pengalaman bangsa Indonesia. Pada satu sisi, kebijakan politik pemerintah kolonial, politik etis, pendidikan bagi kaum pribumi, dan para aktivis nasionalis. Pada sisi lain, bekal pendidikan yang diperoleh telah memperluas wawasan politik sosial politik mereka dan pada saat yang sama memperkuat sentimen kebangsaan mereka. Wawasan dan sentimen kebangsaan itulah yang kemudian memacu aktivitas politik mereka dan menumbuhkan semangat perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial pada waktu itu.
Format Hubungan
Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud kedalam berbagai bentuk yang berbeda-beda, sesuai karakteristik setting sosial-politik dimana hubungan itu terjadi. Bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Jika politik dipahami sebagai ”praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial”, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga pendidikan, baik pemerintah maupun nonpemerintah dalam batas-batas tertentu tidak terlepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas. Dengan kata lain, politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-lembaga pendidikan.
Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur-unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktifitas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek kependidikan.
Ide Non-Political School
Meskipun hubungan atau keterkaitan antara politik dan pendidikan begitu kuat dan riil, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang resah dengan realitas tersebut dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi atau mengikis elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan.
Apapun latar belakang dan tujuan kemunculannya, kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan politik merupakan persoalan penting yang perlu dicermati, baik oleh ilmuwan pendidikan maupun ilmuwan politik. Harman (1974:4) mengidentifikasi 4 faktor utama yang memungkinkan munculnya keyakinan, pandangan dan sikap-sikap non-political school di Australia.
Hambatan ke Depan
Saat ini situasi dimana-mana sungguh berbeda. Konsep lama bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan politik sudah dilupakan dan teriakan bahwa pendidikan berada diluar politik sudah tidak terdengar lagi. Perubahan ini terjadi terutama karena terus meningkatnya politisasi terhadap pendidikan. Saat ini kebijakan pendidikan telah menjadi tema perdebatan public dan kompetisi antar partai politik.
Perubahan pemahaman tentang hubungan politik dan pendidikan juga dipicu oleh hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para peminat kajian politik pendidikan. Hasil-hasil tersebut telah turut meyakinkan para professional pendidikan bahwa berbagai proses dan institusi pendidikan sangat bersifat politik. Olah karena itu, untuk dapat memahami berbagai persoalan pendidikan yang ada ditengah masyarakat tidak hanya diperlukan dasar pengalaman dan pengetahuan pendidikan, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.
Perkembangan di Indonesia
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Publikasi yang menggunakan tema pendidikan dan politik belum tampak ke permukaan. Kalaupun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek substantif hubungan politik dan pendidikan. Namun, masih diseputar aspek-aspek ideologis politik pendidikan. Namun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik tampaknya sudah mulai tumbuh.
II. Fungsi Politik Institusi Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi fungsi-fungsi tersebut bahwasekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen –agen sosialisasi politik.
Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat di mana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang di harapkan dari mereka.
Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi fungsi-fungsi tersebut bahwasekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen –agen sosialisasi politik.
Lembaga-lembaga pendidikan menjadi tempat di mana individu-individu, terutama anak-anak dan generasi muda, mempelajari sikap-sikap dan perasaan tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang di harapkan dari mereka.
Institusi pendidikan sebagai alat kekuasaan?
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki.
Dari generasi ke generasi negarawan dan pemimpin politik telah menyadari dampak yang dapat di timbulkan oleh sistem pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak heran apabila pendidikan sering kali memainkan peran sentral dalam menetukan arah perubahan politik.
Stabilisasi atau transformasi politik banyak ditentukan oleh faktor pendidikan. Manakala terjadi transformasi radikal dalam sistem politik, misalnya setelah revolusi prancis dan rusia, salah satu langkah utama yang dilakukan oleh para penguasa disana adalah menata sistem pendidikan. Penguasa yang baru dengan cepat berusaha mereformasi dan menerapkan sistem pendidikan yang sesuai dengan tujuan-tujuannya. Para penguasa yang baru naik tahta saat menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan dan kontinuitas rezim mereka barkaitan dengan ide-ide dan pola-pola perilaku yang ditransimisi melalui fasilitas kependidikan. Kesadaran ini mungkin saja salah, tetapi ini adalah suatu persoalan hubungan antara pendidikan dan politik yang memerlukan penjelasan melalui penelitian terencana. Penjelasan atas persoalan tersebut akan mengungkapkan kontribusi pendidikan terhadap integrasi dan ketahanan sistem politik.
Era reformasi yang ditandai dengan kejatuhan rezim soeharto pada 1998 telah membawa perubahan mendasar pada beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional.
Sosialisasi politik atau politisasi
Sistem pendidikan turut serta mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik mendasar yang harus dimiliki bersama oleh sebagaian besar anggota sari sistem yang sedang berjalan dengan berbagai variasi. Kita dapat memahami fungsi pendidikan dalam konteks ini dengan baik jika kita mencari proses sosial lebih luas yang berlangsung dalam setiap sistem.
Pada gilirannya, orientasi politik yang berkembang pada diri anak dan para pemuda banyak menentukan kultur politik yang dominan. Dalam suatu budaya dimana secara relatif ada derajat keterlibatan warga yang tinggi pada umumnya terdapat orang-orang yang memandang diri mereka memiliki kemampuan untuk bermain politik. Mereka merasa mampu mempengaruhi keputusan politik melalui usaha mereka sendiri.
Dalam kultur politik paroki, biasanya rakyat kurang memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mengubah situasi politik. Mereka kurang berusaha mengubah pemerintah dengan usaha mereka sendiri, mereka cenderung nrimo, apatis dan pasif.
Sosialisasi politik diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Untuk mempertahankan suatu sistem politik harus ada dukungan yang cukup dari warga negara.
Salah satu hasil dari politik langsung dari sosialisasi politik adalah tumbuhnya keyakinan akan kemampuan politik dikalangan masyarakat. Secara lebih luas, sosialisasi politik melalui proses pendidikan dapat mempengaruhi stabilitas dan transformasi sitem politik. Pengaruh ini dapat dilihat dari beberapa transformasi politik yang besar dimana perhatian utama para pemimpin untuk mempertahankan ideologi dan agenda politiknya adalah dengan mengontrol sistem pendidikan.
Orientasi Dasar Politik
Orientasi dasar politik (basic political orientation), menurut easton mencakup tiga elemen utama. Pertama, objek politik. Karena kita tidak dapat bertindak dalam kevakuman, maka manakala kita melakukan tindakan politik kita melakukan tindakan politik kita harus mengarahkan diri pada objek politik tertentu. Kedua, nilai-nilai atau kesan yang diinginkan. Mengetahui kesan yang diinginkan sama halnya dengan pencarian satu aspek sistem kepercayaan dalam sistem politik. Ketiga, sikap politik (political attitude). Anggota-anggota dari suatu sistem memperlihatkan beragam sikap terhadap objek-objek politik.
Selain menanamkan orientasi dasar politik (basic political orientation), institusi-institusi pendidikan, juga mempunyai enam fungsi lainnya yaitu mengembangkan, memformulasikan, dan mempopulerkan dasar-dasar ideologi sosial dan politik. Pendidikan formal sangat mempengaruhi proses rekruitment politik. Pada umumnya pendidikan meningkatkan peluang bagi individu untuk naik ke jenjang kedudukan dan penghasilan yang lebih tinggi dan untuk mendapatkan status elite politik.
Penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan dan pendidikan memiliki berbagai konsekuensi politik penting. Antara lain, lembaga-lembaga tersebut mempengaruhi jenis dan tingkat penggangguran dalam masyarakat
III. Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada didalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Saat ini banyak negara yang menempuh segala cara untuk terus mengontrol berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang berkembang dalam masyarakatnya. Memperketat birokrasi, memperbanyak peraturan perundang-undangan, mendikte kurikulum, menerapkan sistem akreditasi dan membuat skema subsisi yang merupakan beberapa cara yang sering digunakan oleh suatu negara dalam upaya mengontrol aktivitas pendidikan masyarakat.
Negara dan Perangkatnya
Pada dasarnya negara terdiri dari berbagai institusi yang masing-masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan bernegara. Semua institusi negara memiliki keterkaitan dengan publik. Secara ideal, semuanya dirancang dan diarahkan untuk mewujudkan peran negara. Salah satu peran penting negara, menurut Dale (1989 : 53), adalah “untuk memediasi negara dan subjeknya satu sama lain”. Dalam menjalankan perannya, berbagai institusi negara baik pada tingkat lokal maupun nasional, didanai oleh publik.
Dalam masyarakat modern, muncul berbagai permasalahan seperti masalah ekonomi, rasionalitas, legitimasi, dan motivasi yang semuanya saling terkait. Akumulasi dan konsentrasi kapital yang terjadi terus menerus dalam logika produksi kapitalis, menurut Habermas (1979 ; dalam Bate 1983 ; 59), telah melahirkan instabilitas kronis, inflasi berkelanjutan, overproduksi dan transformasi struktur pekerjaan dalam skala besar termasuk pengalihan dan pengabaian pekerja secara substansial didalam dan antara negara-negara bangsa. Aktivitas-aktivitas utama yang dituntut oleh kapital, seperti perencanaan rasional, dan intervensi untuk memastikan stabilitas, bertentangan dengan logika pasar bebas dan membatasi tingkat akumulasi kapital.
Mengembangkan suatu sistem pendidikan adalah salah satu langkah penting yang diambil oleh negara-negara modern sebagai upaya untuk dapat mengontrol dan keluar dari krisis motivasi tersebut. Dengan mengemban nilai-nilai, ideologi dan kepentingan-kepentingan negara, banyak sistem pendidikan telah memberikan kontribusi yang signifikan pada negara dalam upayanya mengatasi krisis motivasi tersebut. Berbagai sistem pendidikan mampu secara signifikan memberi kontribusi dalam bentuk solusi yang memuaskan terhadap krisis motivasi yang melanda banyak negara.
Kontrol terhadap Pendidikan
Menurut Dale (1989 : 39-43), kontrol negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, sistem pendidikan diatur secara legal. Kedua, sistem pendidikan dijalankan secara birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsary education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu. Dale (1989 : 59) menambahkan bahwa perangkat begara dalam bidang pendidikan, seperti sekolah dan administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap pola, proses dan praktik pendidikan.
Apa yang diharapkan terimplementasi dalam sistem pendidikan, menurut Dale (1989 : 64), bukanlah tujuan-tujuan yang abstrak, tetapi seperangkat harapan yang telah ditentukan oleh negara. Agar efektif, respons yang diberikan terhadap perubahan-perubahan politik dan kependidikan. Bate (1989 : 61) mengamati bahwa dalam situasi dimana kehancuran kehidupan komunal tejadi semakin cepat dibawah tekanan revolusi urban dan industri, bersama rumah sakit, penjara, sekolah semakin banyak digunakan sebagai mekanisme sosial kontrol.
Dalam perspektif teori pendidikan mekanistik (mechanistic theories of education) yang diperkenalkannya, Apple (1982 : viii) mengingatkan : ” kita mesti sensitif terhadap cara-cara sekolah dan institusi lainnya terperangkap dalam berbagai kebutuhan dan kekuatan yang saling bersaing. Hal ini sama juga bisa dan akan terjadi terhadap guru-guru dan peserta didik yang ada di ruang kelas di sekolah-sekolah tersebut”. ”Apa yang kita saksikan”, tambah Apple (1982:viii), ”bukan sekedar imposisi dari kelas, ras, dan kelompok gender dominan, tetapi hasilnya kontradiktif dari konflik-konflik ekonomi, politik, dan kultural yang sangat nyata, yang terdapat didalam dan diluar sistem pendidikan kita”. Persoalannya, ujar Apple (1982:ix), ”what’s good for business is good for the country and its people may not be very good educational policy” (apa yang baik bagi bisnis baik bagi negara dan rakyatnya mungkin tidak begitu baik bagi kebijakan pendidikan). Menginterpretasikan Apple, berbagai kebijakan politik, termasuk kebijakan-kebijakan pendidikan tidak begitu mengacu kepada kebutuhan masyarakat, tetapi pada kepentingan-kepentingan ekonomi-bisnis.
Salah satu fungsi system pendidikan di banyak Negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis / administratif yang pada akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol ekonomi, politik dan budaya. Mengutip David Hogan, Apple (1982:xi) menulis ; “Terlalu banyak orang, termasuk banyak dari kalangan kiri, telah mengabaikan pentingnya pendidikan sebagai prakondisi bagi aktivitas politik lain dan telah mengabaikan pertarungan yang telah dan dapat dilakukan dalam menentukan isi (content), bentuk, dan tujuan-tujuan pendidikan”.
Berbagai tindakan negara, khuusnya dalam bidang peraturan perundang-undangan sangat signifikan terhadap pendidikan dan memiliki dampak krusial terhadap perkembangan pendidikan. Berbagai tuntutan perubahan terhadap dunia pendidikan tidak akan banyak artinya banyak artinya jika tidak menyentuh berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur substansi dari tuntutan-tuntutan tersebut.
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program pendidikan tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan dengan menjelaskan makna, manfaat dan tujuan pendidikan.
Pendidikan sebagai Fungsi Negara
Dengan control yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik pendidikan, maka tidaklah sulit bagi negara untuk memposisikan pendidikan sebagai fungsi negara. Fungsi ini dapat dilihat pada eratnya keterkaitan antara elemen-elemen pendidikan publik di satu negara dengan prinsip-prinsip yang berlaku di negara tersebut. Singkat kata, ada kaitan erat antara pendidikan publik dan negara. Keterkaitan tersebut digambarkan dengan jelas oleh Eliot (1959:1046) ketika dia menulis: ”public education is a state function, and school district are creature of the state” (pendidikan public adalah sebuah fungsi Negara dan sekolah-sekolah yang ada diberbagai daerah adalah kreasi negara). Karena sekolah-sekolah adalah unit pemerintah yang banyak melibatkan kepentingan masyarakat luas, ujar Eliot (1959:1035), maka suka atau tidak suka, para pengelola sekolah terlibat dalam aktivitas politik.
Untuk memahami pendidikan sebagai fungsi negara, diperlukan pengenalan terhadap berbagai tuntutan yang saling bertentangan yang ditempatkan padanya. Namun yang terpenting, tentu saja diperlukan pemahaman tentang apa itu negara (state). Menurut Dale (1989:13) sebagai berikut
Negara ... tidak bersifat monolit, atau sama dengan pemerintah tidak hanya merupakan komite eksekutif pemerintah (badan lainnya). Negara adalah seperangkat institusi yang didanai oleh publik yang belum tentu harmonis, baik secara terpisah maupun secara kolektif yang dihadapkan pada berbagai problem mendasar yang muncul dari hubungannya dengan kapitalisme ..., dengan satu cabang, pemerintah yang bertanggung jawab memastikan bahwa problem-problem tersebut terus menjadi agenda penting bagi negara.
Dengan berbagai perangkat yang dimilikinya dan potensi konflik internal yang selalu ada antara berbagai perangkat tersebut. Maka pola, skala, dan mekanisme kontrol negara terhadap pendidikan seringkali berubah-ubah bervariasi dan kontradiksi seiring dengan dinamika internal yang ada did alam negara.
Untuk memahami pendidikan sebagai fungsi negara, diperlukan pengenalan terhadap berbagai tuntutan yang saling bertentangan yang ditempatkan padanya. Namun yang terpenting, tentu saja diperlukan pemahaman tentang apa itu negara (state). Menurut Dale (1989:13) sebagai berikut
Negara ... tidak bersifat monolit, atau sama dengan pemerintah tidak hanya merupakan komite eksekutif pemerintah (badan lainnya). Negara adalah seperangkat institusi yang didanai oleh publik yang belum tentu harmonis, baik secara terpisah maupun secara kolektif yang dihadapkan pada berbagai problem mendasar yang muncul dari hubungannya dengan kapitalisme ..., dengan satu cabang, pemerintah yang bertanggung jawab memastikan bahwa problem-problem tersebut terus menjadi agenda penting bagi negara.
Dengan berbagai perangkat yang dimilikinya dan potensi konflik internal yang selalu ada antara berbagai perangkat tersebut. Maka pola, skala, dan mekanisme kontrol negara terhadap pendidikan seringkali berubah-ubah bervariasi dan kontradiksi seiring dengan dinamika internal yang ada did alam negara.
IV. Prospek Kajian Politik Pendidikan
Sebagai suatu bidang kajian yang relatif baru dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang telah mapan (established), yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan (the politics of education) sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pemdidikan. Mereka secara kritik mempertanyakan kelayakan bidang kajian baru ini dari segi metodologi, fokus dan manfaatnya. Sikap kritis tersebut menyebabkan lambatnya pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri yang terpisah dari disiplin induknya. Perbedaan ini dapat dilihat dari keragaman istilah dan pengertian yang mereka gunakan dalam menjelaskan fokus dan orientasi studi mereka.
Wacana Politik Pendidikan
Menurut Acher (1985:39), politik pendidikan (the politics of education) harus dibedakan dengan politik kependidikan (educational politics). Ia menjelaskan bahwa istilah educational politics mencakup semua interaksi social yang mempengaruhi pendidikan. Jika politik pendidikan membicarakan aspek-aspek politik dari pendidikan, politik kependidikan adalah “upaya-upaya (sadar dan terorganisasi) untuk mempengaruhi input, proses dan output pendidikan, baik melalui legislasi, kelompok penekan atau aksi kelompok, eksperimentasi, investasi pribadi, transaksi local, inovasi internal atau propaganda” (Archer, 1985:39). Politik pendidikan dalam pengertian tersebut, tambah Archer (1985:39) adalah politik pendidikan luas (broad educational politics). Ia mengemukakan bahwa ‘broad’ educational politics diperlukan untuk menjelaskan (a) prakti kependidikan pada waktu tertentu dan (b) dinamika perubahan kependidikan dalam jangka waktu tertentu pada tingkat sistematik. Lebih jauh ia mengatakan bahwa politic kependidikan dalam pengertian tersebut harus dibedakan dengan ‘high’ educational politics, yaitu analisa terhadap hubungan-hubungan antarpersonal pada tingkat pemerintahan. Namun, keduanya berkaitan erat karena ‘high’ politics menekankan factor manusia yang sebenarnya banyak berperan dalam menentukan arah “broad” political.
Perkembangan Kajian Politik Pendidikan
Perhatian para sarjana terhadap hubungan antara pendidikan dan politik relative masih baru. Menurut catatan Mitchell, aplikasi analisis politik terhadap studi kependidikan sepenuhnya terabaikan sebelum tahun 1950-an. Walaupun selama lebih dari dua ribu tahun para filosof, mahasiswa, politik, dan pendidik telah mendiskusikan dan berargumentasi tentang hubungan antara keduanya. Lain halnya dengan Mill, Mill secara khusus tertarik pada efek kontrol pemerintah terhadap sekolah terhadap independensi politiknya. Baginya, lembaga-lembaga pendidikan negeri beroperasi hanya sebagai ”jebakan untuk membuat semua orang sama antara satu dan lainnya” dan akan mengembangkan ”sebuah alat kekuasaan untuk menaklukan pikiran, yag dikendalikan oleh suatu kecenderungan alamiah terhadap seseorang terhadap tubuh”(Partridge, 1980:60)
Tanpa mengabaikan inspirasi yang muncul dari karya-karya para filosof diatas, perkembangan politik pendidikan (politics of education) sebagai suatu bidang kajian tersendiri dipicu oleh artikel yang ditulis oleh Thomas H. Elliot yang berjudul ”Toward an Understanding of Public School Politics” yang dimuat di American Political Science Review, Volume 53, Nomor 4, Desember 1959, Halaman 1032-1052. Dalam artikel tersebut, ia mengingatkan bahwa sudah saatnya para ilmuwan politik tidak kuat dengan perkataan ”pendidikan” karena pendidikan adalah bagian tak terpisahkan dari kepentingan dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, tulis Eliot pendidikan juga merupakan objek studi bagi para ilmuwan politik. Dalam kalimatnya sendiri sebagai berikut :
Surely it is high time to stop being frightened by a word.
Politics includes the making of governmental decisions, and the effort of struggle to gain or keep the power to make those decisions. Public schools are parts of government. They are political entities. They are a fit subject for study by political scientists. (Sungguh sudah saatnya [para ilmuwan politik] tidak lagi takut dengan sebuah perkataan [pendidikan]. Politik mencakup penyusunan berbagai keputusan pemerintah dan perjuangan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan untuk membuat berbagai keputusan tersebut. Sekolah-sekolah public adalah bagian dari pemerintah. Semuanya adalah entitas politik. Semuanya adalah subjek yang cocok bagi para ilmuwan politik ) (Eliot, 1959: 1035)
Eliot menambahkan bahwa persoalan pendidikan bukan sekedar persoalan politik biasa, tetapi merupakan persoalan politik yang kruasial untuk dikaji, baik oleh para ilmuwan politik maupun oleh para ilmuwan pendidikan.
Sedangkan Kirst dan Mosher menambahkan bahwa kajian politic - science menyajikan sesuatu yang berbeda karena kajian ini memperhatikan tiga isu, yakni :
1. Efek alokatif (the allocative effect) dari aksi-aksi politik – siapa mendapatkan apa (who gets
what),kapan (when), dan bagaimana (how)
2. Situasi educational – political system yang sedang berjalan dan perubahan-perubahan
2. Situasi educational – political system yang sedang berjalan dan perubahan-perubahan
karakteristiknya dari waktu ke waktu
3. Efektifitas system yang ada dalam mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan (desirable
3. Efektifitas system yang ada dalam mencapai tujuan yang diharapkan dari kebijakan (desirable
policy objective), seperti inovasi, bertambahnya dukungan fiskal, partisipasi masyarakat dan
sebagainya (Kirst dan Mosher, 1969: 623)
Perkembangan kajian politik pendidikan banyak dipengaruhi oleh persepsi para pendidik terhadap politik dan karakteristik sistem politik yang berlaku. Perkembangannya dipicu oleh sistem politik yang semakin terbuka dan pemahaman bahwa politik adalah bagian tak terpisahkan dari proses alokasi nilai-nilai dalam masyarakat.
Adapun ”values” dan ”goals” adalah sumber daya dan tuntutan sosial sebagai inputs yang menciptakan dan mempertahankan sistem. Adapun istilah ”allocation” merujuk pada hubungan yang rumit antara ideologi, individu, institusi, dan kelompok penekanan (intersest group) tertentu. Karena tuntutan terhadap authoritative action dinilai beragam dan berubah-ubah dan sumber daya yang tersedia umumnya tidak mencukupi untuk merespons semua tuntutan, tambah Easton (1965: 50). Maka studi tentang proses alokasi dalam sistem politik juga merupakan studi tentang kompetisi dan penyelesaiannya (settlement), atau menghindari konflik (the aviodance of conflict).
Minat Kajian Politik Pendidikan
Meskipun keterkaitan antara pendidikan dan politik memiliki sejarah yang panjang, secara umum dapat dikatakan bahwa perhatian para ilmuwan politik terhadap persoalan-persoalan kependidikan dan perhatian para ilmuwan pendidikan terhadap aspek-aspek politik pendidikan berkembang sangat lamban. Menurut Abernethy dan Coombe (1965), signifikansi politik pendidikan meningkat seiring dengan perubahan-perubahan sosial dan ekonomi.
Harman (1974: 14) mengamati bahwa hingga awal tahun 1980-an para mahasiswa pendidikan kurang tertarik meneliti aspek-aspek dan konteks politik pendidikan formal, atau konsekuensi politik pendidikan formal dan informal. Berkembang atau tidaknya minat para ilmuwan politik untuk mengkaji persoalan pendidikan tampaknya juga dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang berlaku dan tingkat kepekaan masyarakat terhadap masalah-masalah kependidikan.
Dalam disiplin ilmu pendidikan, salah satu alasan kurangnya minat terhadap politik pendidikan adalah karena para peneliti pendidikan tidak tertarik kepada penyelenggaraan kegiatan persekolahan dalam konteks sosial yang lebih luas. Menurut pengamatan, C.Arnold Anderson (1961), umumnya peneliti pendidikan memusatkan perhatian mereka pada data kependidikan, mereka memperlakukan pendidikan seolah-olah pendidikan itu sebuah sistem sosial yang otonom.
Perkembangan politik pendidikan sebagai bidang peneliti dan pengajaran adalah fenomena menarik karena beberapa alasan. Pertama, hal itu menandakan perubahan fundamental yang telah dan terus terjadi dalam ilmu-ilmu politik dan studi kependidikan. Selain terjadi kecenderungan terus-menerus dalam spesialisasi riset, telah tumbuh pula kesadaran dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu pendidikan tentang keterkaitan antara institusi-institusi dan proses-proses sosial.
Dalam ilmu pendidikan, menurutnya pertumbuhan minat pada politik masyarakat di negara sedang berkembang juga telah mendorong peningkatan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan sistem politik pada umumnya. Selain itu, perkembangan minat dalam riset kebijakan (policy research) telah mengarahkan perhatian pada pendidikan dan bidang kebijakan penting lainnya. Disatu pihak, menurut Harman (1974: 18), sejumlah sarjana ilmu politik telah tertarik untuk meneliti pendidikan karena keinginan yang keras untuk terlibat dalam proyek-proyek yang memiliki aplikasi langsung dan praktis untuk perbaikan masyarakat. Dipihak lain, para sarjana pendidikan telah tertarik untuk mempelajari aspek-aspek politik dari pendidikan karena pesatnya pertumbuhan bidang administrasi pendidikan.
Perkembangan minat terhadap politik pendidikan dibanyak negara juga terkait dengan perkembangan perhatian publik dan kerusuhan tentang pendidikan dan problem sosial terkait. Demonstrasi mahasiswa, keluhan terus menerus dari para orang tua tentang fasilitas pendidikan, perdebatan tentang bantuan keuangan negara terhadap sekolah-sekolah non-pemerintah, berkembangnya militansi dalam profesi keguruan, dan membengkaknya biaya pendidikan publik, semuanya telah memberi kontribusi dalam menjadikan pendidikan menjadi isu besar dalam politik dan menarik perhatian ilmuwan politik dan para pendidik terhadap masalah-masalah kependidikan.
Adapun ”values” dan ”goals” adalah sumber daya dan tuntutan sosial sebagai inputs yang menciptakan dan mempertahankan sistem. Adapun istilah ”allocation” merujuk pada hubungan yang rumit antara ideologi, individu, institusi, dan kelompok penekanan (intersest group) tertentu. Karena tuntutan terhadap authoritative action dinilai beragam dan berubah-ubah dan sumber daya yang tersedia umumnya tidak mencukupi untuk merespons semua tuntutan, tambah Easton (1965: 50). Maka studi tentang proses alokasi dalam sistem politik juga merupakan studi tentang kompetisi dan penyelesaiannya (settlement), atau menghindari konflik (the aviodance of conflict).
Minat Kajian Politik Pendidikan
Meskipun keterkaitan antara pendidikan dan politik memiliki sejarah yang panjang, secara umum dapat dikatakan bahwa perhatian para ilmuwan politik terhadap persoalan-persoalan kependidikan dan perhatian para ilmuwan pendidikan terhadap aspek-aspek politik pendidikan berkembang sangat lamban. Menurut Abernethy dan Coombe (1965), signifikansi politik pendidikan meningkat seiring dengan perubahan-perubahan sosial dan ekonomi.
Harman (1974: 14) mengamati bahwa hingga awal tahun 1980-an para mahasiswa pendidikan kurang tertarik meneliti aspek-aspek dan konteks politik pendidikan formal, atau konsekuensi politik pendidikan formal dan informal. Berkembang atau tidaknya minat para ilmuwan politik untuk mengkaji persoalan pendidikan tampaknya juga dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang berlaku dan tingkat kepekaan masyarakat terhadap masalah-masalah kependidikan.
Dalam disiplin ilmu pendidikan, salah satu alasan kurangnya minat terhadap politik pendidikan adalah karena para peneliti pendidikan tidak tertarik kepada penyelenggaraan kegiatan persekolahan dalam konteks sosial yang lebih luas. Menurut pengamatan, C.Arnold Anderson (1961), umumnya peneliti pendidikan memusatkan perhatian mereka pada data kependidikan, mereka memperlakukan pendidikan seolah-olah pendidikan itu sebuah sistem sosial yang otonom.
Perkembangan politik pendidikan sebagai bidang peneliti dan pengajaran adalah fenomena menarik karena beberapa alasan. Pertama, hal itu menandakan perubahan fundamental yang telah dan terus terjadi dalam ilmu-ilmu politik dan studi kependidikan. Selain terjadi kecenderungan terus-menerus dalam spesialisasi riset, telah tumbuh pula kesadaran dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu pendidikan tentang keterkaitan antara institusi-institusi dan proses-proses sosial.
Dalam ilmu pendidikan, menurutnya pertumbuhan minat pada politik masyarakat di negara sedang berkembang juga telah mendorong peningkatan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan sistem politik pada umumnya. Selain itu, perkembangan minat dalam riset kebijakan (policy research) telah mengarahkan perhatian pada pendidikan dan bidang kebijakan penting lainnya. Disatu pihak, menurut Harman (1974: 18), sejumlah sarjana ilmu politik telah tertarik untuk meneliti pendidikan karena keinginan yang keras untuk terlibat dalam proyek-proyek yang memiliki aplikasi langsung dan praktis untuk perbaikan masyarakat. Dipihak lain, para sarjana pendidikan telah tertarik untuk mempelajari aspek-aspek politik dari pendidikan karena pesatnya pertumbuhan bidang administrasi pendidikan.
Perkembangan minat terhadap politik pendidikan dibanyak negara juga terkait dengan perkembangan perhatian publik dan kerusuhan tentang pendidikan dan problem sosial terkait. Demonstrasi mahasiswa, keluhan terus menerus dari para orang tua tentang fasilitas pendidikan, perdebatan tentang bantuan keuangan negara terhadap sekolah-sekolah non-pemerintah, berkembangnya militansi dalam profesi keguruan, dan membengkaknya biaya pendidikan publik, semuanya telah memberi kontribusi dalam menjadikan pendidikan menjadi isu besar dalam politik dan menarik perhatian ilmuwan politik dan para pendidik terhadap masalah-masalah kependidikan.
Fokus dan Manfaat Kajian
Sebagai suatu bidang akademik yang perkembangannya relatif baru, kajian politik pendidikan tertinggal jauh dari kajian bidang lain. Ketertinggalan ini terjadi dimana-mana, bahkan di Amerika, dimana kajian-kajian ilmiah dalam berbagai bidang berkembang sangat pesat. Namun demikian, harus diakui bahwa kajian politik pendidikan telah berkembang sangat pesat, dengan dua fokus utama yaitu fungsi-fungsi politik pendidikan dan aspek-aspek pendidikan dari politik.
Selain mengungkapkan aspek-aspek empiris dari kekuasaan, kajian politik pendidikan, terutama dengan pendekatan filosofis, juga dapat mengungkapkan jenis pengaturan pendidikan, baik dalam hal kurikulum maupun organisasi, untuk menanamkan konsep-konsep filosofis tentang masyarakat politik yang baik atau tatanan sosial. Saat ini banyak mahasiswa politik yang tertarik mempelajari pengaruh pendidikan terhadap pertumbuhan nasionalisme modern dan penggunannya oleh rezim totalier. Kajian-kajian awal tentang hal ini dapat dilihat dalam karya-karya Reisner (1922), McCully (1950), Talmon (1952) dan Cobban (1983).
Sebagian besar riset kebijakan pendidikan, menurut catatan Kirst dan Mosher (1969: 624), terfokus pada persoalan alokasi: ”bagaimana keputusan-keputusan dibuat?” ”Siapa yang mempengaruhi keputusan-keputusan tentang budget, kurikulum, fasilitas, desegrasi, dan sebagainya ; dan terhadap siapa pengaruh tersebut ditujukan?” ”Siapa yang turut menikmati keuntungan-keuntungan aktivitas politik?” ”Dalam kondisi apa kontrol masyarakat terhadap sekolah dan para praktisi pendidikan meningkat?” Apapun fokusnya, kemunculan studi politik pendidikan telah menjembatani tradisi penelitian yang ada dalam ilmu-ilmu politik dan yang ada dalam ilmu pendidikan.
Tantangan ke Depan
Setelah mengalami masa perkembangan yang cukup berarti, hambatan-hambatan diatas berangsur-angsur dapat diatasi. Namun demikian, hambatan-hambatan baru terus bermunculan dan menghambat para guru dan administratur pandidikan untuk lebih mendalami aspek-aspek dan dimensi politik pendidikan dan menghambat upaya-upaya untuk memahami tekanan-tekanan dan realitas politik yang baru. Hambatan-hambatan baru tersebut, menurut Harman (1980: 4), meliputi problem makna (problem of meanings), kurangnya perspektif (the lack of perspektive), keraguan terhadap penelitian sistematik (doubts about systematic investigation), dan perasaan ketidakberdayaan profesional (a sense of professional powerlessness).
1. The Problem of Meanings
Ketika seorang administrator atau seorang guru berkata bahwa sebuah kebijakan pendidikan bersifat politik, dia mungkin mengira bahwa makna dari pernyataan ini cukup jelas terutama jika hal itu disampaikan kepada para pendidik profesional lainnya. Sebenarnya suatu kebijakan bersifat politik bisa juga berarti bahwa seorang menteri atau pejabat tertentu membuat suatu keputusan dalam rangka meningkatkan kekuasaan atau prestise dirinya atau suatu keputusan dibuat sebagai perhitungan pemerintah terhadap tuntutan dari suatu kelompok penekan yang kuat. Mengatakan suatu kebijakan bersifat politik bisa juga berarti bahwa kebijakan tersebut dibuat oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari para pemilih atau dalam rangka memojokkan pihak oposisi. Hal tersebut dapat juga berarti bahwa suatu kebijakan dibuat melalui perselisihan yang muncul antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, atau perselisihan disuatu departement atau birokrasi. Tentu masih banyak makna lain yang bisa diartikan manakala kita mengatakan bahwa suatu keputusan atau kebijakan pendidikan bersifat politik.
2. Kurang Perspektif
Ketika seorang pendidik berbicara bahwa sebuah kebijakan pendidikan bersifat politis dan tidak mampu menjelaskan maksud dari pernyataan tersebut, maka dia bisa saja mempertunjukkan rasa frustasi atau bahkan sinisme. Para peneliti politik pendidikan menggunakan berbagai kerangka (frameworks) untuk memeta hubungan antara politik dan pendidikan. Dalam pandangan Harman (1980: 8), yang dimaksud dengan ’pendidikan’ dalam kajian politik pendidikan utamanya, tetapi tidak eksklusif adalah pendidikan formal disemua jenjang, baik pada institusi pemerintah maupun pada institusi non-pemerintah.
Kaitan antara politik dan pendidikan, menurut Harman (1980: 8), terjadi dalam empat cluster yang satu sama lain saling berhubungan ; (a) pendidikan sebagai arena kebijakan publik dan aktivitas pemerintah ; (b) politik internal institusi dan sistem kependidikan ; (c) pengaruh proses dan institusi pendidikan terhadap prilaku dan kehidupan politik ; dan (d) pengaruh proses dan institusi politik terhadap pendidikan
3. Keraguan tentang Investigasi Sistematik
Hal ketiga yang dapat menghambat pemahaman tentang hubungan antara politik dan pendidikan adalah keraguan tentang bisa tidaknya dilakukan investigasi sistematis dalam kajian politik pendidikan. Hambatan ketiga ini berkaitan dengan keraguan tentang fisibilitas dan desirabilitas investigasi sitematik tentang prilaku dan proses politik dalam pendidikan. Hambatan ini lebih sulit untuk diatasi menurut Harman (1980: 17), Harman yakin bahwa investigasi terhadap politik pendidikan tidak hanya diperlukan (desirable), tetapi juga layak untuk dijalankan (feasible).
Dikatakan desirable karena penelitian politik pendidikan dapat memahami secara lebih baik berbagai konteks pekerjaan para pendidik, berbagai hambatan yang ada, dan berbagai kemungkinan dan cara untuk menangani dan mencapai perubahan. Dikatakan feasible karena penelitian politik pendidikan telah memiliki konsep-konsep, pendekatan dan metode penelitian. Harus diakui bahwa metode-metode penelitian tersebut relatif berbeda dengan metode-metode yang digunakan dalam penelitin empiris pendidikan tradisional.
4. Rasa ketidakberdayaan Professional
Ketika seorang profesional pendidikan menilai suatu keputusan bersifat politis, bisa jadi prilaku ini muncul dari rasa frustasi dan ketidakberdayaan.
V. Problem Metodologi Penelitian Politik Pendidikan
Proses kemunculan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian, baik dikalangan ilmuwan maupun ilmuwan politik telah melalui pergumulan metodologis yang panjang dan penuh perdebatan. Di satu pihak, para penggagas bidang kajian ini dengan penuh gairah menjelaskan bahwa kajian politik pendidikan adalah kajian penting dilakukan, baik oleh para ilmuwan politik maupun oleh para ilmuwan pendidikan. Mereka berargumentasi bahwa kajian politik pendidikan dapat memberikan wawasan politik pada para ilmuwan dan praktisi pendidikan dan memperluas wawasan kependidikan para ilmuwan politik.
Hingga awal 1970-an, kajian politik pendidikan belum memiliki basis metodologi yang mantap, walaupun pada saat itu penelitian yang terfokus pada bidang kajian ini sudah cukup berkembang. Kirst dan Mosher (1969: 624) menegaskan ketidakmapanan metodologi suatu studi bidang politik pendidikan pada waktu itu : ”The methodology of the politics of education is as yetunstable and untested” (metodologi politik pendidikan masih belum stabil dan belum teruji). Penilaian Kirst dan Mosher tersebut senada dengan penilaian pendahulu mereka, Truman yang menilai metodologi kajian politik pendidikan kurang jelas, membingungkan dan tidak ada kepastian. Truman menjelaskan :
Giventhe looseness and especially the lack of precission in the prevailing implicit agreement on what to do and how to procced in the field, it’s weakening and gradual dissolution were bound to be followed by a confusion of competing and divergen, if not incompatible, views of the appropriate questions to be asked and the proper method to be used. How long that state of affairs is likely to exist is anyone’s guess (Truman, 1965: 869)
Selain oleh adanya keterbatasan metodologis pada displin induknya, yaitu ilmu pendidikan dan ilmu politik, perkembangan metodologis kajian politik pendidikan juga dipersulit oleh munculnya kecendrungan untuk memisahkan administrasi pendidikan dari politik dari awal 1900-an. Saat itu ada suatu keyakinan yang kuat dalam masyarakat Barat, khususnya di Amerika Serikat, bahwa pendidikan adalah fungsi khusus pemerintah yang terpisah dari politik dan semata-mata berpijak pada nilai-nilai professional.
Hingga awal 1970-an, kajian politik pendidikan belum memiliki basis metodologi yang mantap, walaupun pada saat itu penelitian yang terfokus pada bidang kajian ini sudah cukup berkembang. Kirst dan Mosher (1969: 624) menegaskan ketidakmapanan metodologi suatu studi bidang politik pendidikan pada waktu itu : ”The methodology of the politics of education is as yetunstable and untested” (metodologi politik pendidikan masih belum stabil dan belum teruji). Penilaian Kirst dan Mosher tersebut senada dengan penilaian pendahulu mereka, Truman yang menilai metodologi kajian politik pendidikan kurang jelas, membingungkan dan tidak ada kepastian. Truman menjelaskan :
Giventhe looseness and especially the lack of precission in the prevailing implicit agreement on what to do and how to procced in the field, it’s weakening and gradual dissolution were bound to be followed by a confusion of competing and divergen, if not incompatible, views of the appropriate questions to be asked and the proper method to be used. How long that state of affairs is likely to exist is anyone’s guess (Truman, 1965: 869)
Selain oleh adanya keterbatasan metodologis pada displin induknya, yaitu ilmu pendidikan dan ilmu politik, perkembangan metodologis kajian politik pendidikan juga dipersulit oleh munculnya kecendrungan untuk memisahkan administrasi pendidikan dari politik dari awal 1900-an. Saat itu ada suatu keyakinan yang kuat dalam masyarakat Barat, khususnya di Amerika Serikat, bahwa pendidikan adalah fungsi khusus pemerintah yang terpisah dari politik dan semata-mata berpijak pada nilai-nilai professional.
Perkembangan Penelitian Politik Pendidikan
Sudah menjadi aksioma dalam ilmu-ilmu social bahwa institusi atau organisasi yang tertutup menghadapi kesulitan dalam melakukan koreksi diri (self-examination) secara objektif untuk reformasi dan pembaruan. Perkembangan penelitian politik pendidikan mendapat momentum pertama pada pertengahan 1960-an. Pada masa tersebut penelitian politik pendidikan mendapat dorongan perubahan dari faktor-faktor eksternal. Pada tingkat praktis, para ilmuwan sosial dari berbagai disiplin khususnya dari disiplin ilmu politik, memberikan stimulus yang signifikan terhadap penelitian kebijakan pendidikan.
Dalam berbaia segi, meningkatnya minat akademik dalam studi kebijakan pendidikan dapat ditelusuri pada beberapa segi perubahan sikap para politisi. Perkembangan penelitian dalam suatu bidang kajian juga banyak dipengaruhi oleh situasi sosial-politik yang berkaitan dengan karakteristik bidang kajian tersebut.
Survei dan Studi Kasus
Kirst dan Mosher (1969: 634-35) mencatat bahwa penelitian dalam bidang politik pendidikan cenderung terpola pada dua pendekatan dasar dalam sampling dan pemilihan variabel yang masing-masing memiliki kelemahan dan keuntungan. Beberapa peneliti lebih banyak menggunakan pendekatan survei (survey approach), dimana seperangkat variabel terbatas, yang umumnya rentan terhadap ukuran angka, diisolasi dan diterima sebagai indikator dari konsep-konsep yang lebih umum. Variabel-variabel tersebut lalu dikaji dalam suatu populasi sampel yang besar dan representatif.
Para peneliti lainnya lebih menyukai studi kasus (a case approach), dimana semua karakteristik pendidikan politik yang relevan dalam suatu masyarakat, institusi, kelompok kepentingan atau serangkaian kejadian yang dikaji secara mendalam. Studi kasus bisa jadi hanya terfokus pada satu periode kepemimpinan sekolah atau mencakup sistem pendidikan di suatu kota atau negara. Secara praktis semua fase studi kasus menuntut kompetensi tinggi dalam penelitian karena metode ini dihadapkan pada resiko tingkat reliabilitas yang rendah dan terjadinya kesalahan dalam sampling. Namun demikian, sering diargumentasikan bahwa temuan-temuan tentang pola variabel walaupun berdasarkan pada satu kasus mengandung validitas lebih baik ketimbang temuan-temuan tentang variabel yang sama apabila diberlakukan terisolasi dari interaksi-interaksi yang terpola. Oleh sebab itu saat ini semakin banyak peneliti yang mengkombinasikan kelebihan-kelebihan dan meminimalisasi keterbatasan-keterbatasan pendekatan survei dan pendekatan studi kasus.
Analisis Sistem dan Studi Politik
Tren metodologi penelitian pendidikan pada awal 1970-an banyak dipengaruhi oleh tren metodologi disiplin induknya, yaitu ilmu politik. Karena semakin meningkatnya penggunaan analisis sistem dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam ilmu politik, tidak mengherankan bahwa nilai potensialnya juga harus diteliti oleh para mahasiswa politik pendidikan. Namun demikian, penggunaan analisis sistem dalam studi politik pendidikan belum memuaskan para penggunanya.
Dalam tulisannya yang diberi judul amat provokatif, Political System Analysis in Educational Administration : Can the Emperor Be Clothed, Sroufe (1969) menyimpulkan bahwa pendekatan system (system approach) telah memperkenalkan beberapa studi – walaupun kenyataannya, semacam hiasan etalase (windows dressing) bagi mereka – tetapi hal itu belum terbukti sebagai metode yang bermanfaat bagi mereka. Ia berpendapat bahwa model sistem dapat digunakan untuk ”mendorong kanvas yang lebih besar, gambaran menyeluruh dari suatu studi, tetapi merupakan suatu kepingan”. Pendapat Sroufe ini sejalan dengan pendapat Kaplan (dalam Almond and Coleman 1960: 30), yang menulis dalam konteks berbeda ; ”Perhaps the first thing to be said about system theory is that it is not a theory. It consists of a set of concept. No propositions about the real world can be derived from infinitesimal calculus, or from the methods of science in general” (Mungkin hal pertama yang dapat dikatakan tentang teori system bahwa hal itu bukanlah teori. Itu terdiri dari dari seperangkar konsep. Tidak ada proporsi tentang alam nyata yang dapat dikembangkan dari kalkulus atau dari metode-metode sains pada umumnya).
Beberapa Problem
Walaupun telah memiliki komunitas peneliti sendiri, khazanah literature yang sudah cukup banyak, perkembangan metodologis yang cukup pesat hingga awal 1990-an bidang kajian politik pendidikan masih dihadapkan pada beberapa problem yang cukup serius, yang perlu dicermati oleh para peminat bidang kajian ini.
Dalam publikasinya yang berjudul Teachers ; College Record (1977), Wirth cukup optimistic dengan prospek perkembangan kajian politik pendidikan. Ia menulis sebagai berikut :
But this doesn’t mean what we know is useless. As I think of our knowledge now and a decade ago, when the works of Bailey and Masters et al. stood as lonely beacons on a shore barren of political substance, I cannot but find pleasure what we now have. There is excitement in seeing political scientist apply the concept to the material of school policy, often with a sense of surprise that they fit. Not do I feel any need to abandon our studies because perfection does not exist (1977: 254)
Tampaknya Wirt menyadari bahwa apa yang telah dilakukan oleh para peneliti politik pendidikan belumlah apa-apa. Namun, apa yang telah dicapai tersebut jauh lebih baik dan cukup menggembirakan.
Dalam penilaiannya, kajian politik pendidikan kurang focus dan belum memiliki orientasi metodologi serta kategori-kategori konseptual yang khas. Ia menulis sebagai berikut :
The politic of education is a new field, but so far it has very little discipline to do. As practiced by those wearing the label, it reaches across the very breadth political science and education. What’s more, no methodological approach peculiar to or excluded from this field
Keluhan utama Peterson adalah tidak adanya pendekatan metodologi yang khas untuk kajian politik pendidikan. Selanjutnya ia mengatakan hal berikut :
Significantly, neither political science nor education, as fields, are disciplines with distinctive conceptual categories and / or methodological orientations. In contrast to other of the social science, their unity lies in the social sector serviced by the research and teaching – school and government – not in construct or approaches internal to the fields. The offspring of such polygot parents is not likely to have very predictable shape (Peterson, 1978: 356)
Dapat dipahami dari kutipan diatas bahwa ketiadaan metodologi yang khas dalam kajian politik pendidikan berawal dari kurang adanya konsep-konsep yang khas dalam disiplin induknya, yaitu ilmu politik dan ilmu pendidikan.
Beberapa Prioritas
Dalam rangka meminimalisasi berbagai problem metodologis yang ada dalam studi politik pendidikan, maka perlu dikembangkan prioritas-prioritas dalam bidang kajian ini. Menurut Harman (1980: 11-12), ada enam prioritas utama yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, studi dengan penekanan pada teori dan pengembangan teori. Studi ini meliputi eksplorasi hubungan menyeluruh antara politik dan pendidikan; analisis terhadap konsep-konsep dan kerangka yang tersedia dalam ilmu politik dan bidang terkait dan menilai kemungkinan penerapannya untuk penelitian politik pendidikan; menyusun kerangka dan asumsi-asumsi penelitian secara eksplisit dan mengembangkan kerangka dan konstruksi teoritis yang baru untuk menangani problem khusus dalam politik pendidikan.
Kedua, melakukan studi komparatif. Selain bersifat cross-national dan mengkaji aktor, proses dan prilaku dalam konteks hukum yang berbeda. Kajian politik pendidikan hendaknya juga membandingkan aspek-aspek sistem kebijakan pendidikan dengan wilayah lain dari aktivitas pemerintah. Ketiga, membuat summary atau melakukan studi interpretatif. Diperlukan studi-studi yang merangkum temuan-temuan kajian politik pendidikan, menginterpretasi hasil-hasilnya dan menjelaskan secara jelas dan relatif sederhana implikasinya pada praktik dan penelitian lebih lanjut.
Keempat, melakukan studi dengan fokus utama pada tingkat makro. Tidak diragukan bahwa studi kasus memiliki nilai penting. Namun, disatu pihak ada kebutuhan untuk mengetahui sejauh mana kasus-kasus tertentu dalam skala besar memiliki kesamaan. Kelima, melakukan studi tentang pemerintahan pusat dan pendidikan. Diperlukan studi mendetail tentang struktur Department Pendidikan Nasional atau karakterikstik proses kebijakan pendidikan ditingkat nasional. Keenam, melakukan studi tentang persoalan di seputar kebijakan. Kita tidak hanya perlu mengetahui perbedaan antara institusi-institusi dan pola-pola prilaku, tetapi juga mempertanyakan implikasi dan perbedaan-perbedaan tersebut.
Dengan memfokuskan kajian politik pendidikan pada enam prioritas sebagaimana disarankan oleh Harman di atas, selain dapat memperkuat basis metodologis kajian-kajian mereka, para peminat kajian politik pendidikan dapat membuat konteks studi mereka lebih bervariasi dan mengembangkan dimensi-dimensi praktis dari hasil-hasil yang mereka capai, agar kajian politik pendidikan tidak berada dimenara gading (invory tower), tetapi benar-benar memebri kontribusi bagi upaya-upaya pengembangan sistem pendidikan.
Langkah ke Depan
Kemunculan politik pendidikan sebagai suatu bidang studi lebih terkait dengan perkembangan kebijakan pendidikan ketimbang dengan metode, teknik tau teori-teori penelitian. Meskipun penelitian dalam kajian politik pendidikan sudah cukup berkembang, masih diperlukan pengembangan dari analisis mikro ke analisis makro. Dalam banyak hal, persoalan-persoalan politik pendidikan yang kompleks dan bervariasi tidak mungkin dapat dipahami melalui survei statistik berskala besar. Namun demikian, studi kasus tidak memungkinkan kita melakukan generalisasi. Dibutuhkan kombinasi yang tepat antara pendekatan survei dan studi kasus. Dengan mengimplementasikan enam langkah-langkah prioritas sebagaimana dianjurkan oleh Harman, komunitas sarjana peminat kajian politik pendidikan telah berhasil menjadikan bidang kajian ini menjadi bidang kajian yang berdiri sendiri dengan segala karakteristik, pendekatan dan fokusnya yang unik.
Pada masa-masa mendatang ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian politik pendidikan, yaitu menyangkut studi komparatif terhadap pengaruh negara, manajemen atau kontrol terhadap pendidikan; sejarah peraturan perundang-undangan pendidikan; studi banding atas negara-negara yang memiliki pemerintah kesatuan (unitary government), kontrol fiskal sentralistik dan sentralisasi kurikulum; dampak proses hukum terhadap pendidikan; hubungan antara kurikulum dan minat serta pelatihan guru dengan nilai-nilai politik masyarakat.
VI. VOTER EDUCATION, Komunikasi Politik dan Demokrasi
Perkataan voter (orang yang menggunakan hak suara atau pemilih) berasal dari kata benda vote (hak suara) yang berarti ”ekspresi opini yang disampaikan secara formal”. Kata kerjanya adalah to vote (memberikan hak suara) yang berarti ”menggunakan hak suara untuk memutuskan, menerima atau menolak sesuatu” (Bolander et.al, 1988: 1103) dalam proses pengambilan keputusan atau pemilihan, termasuk pemilihan umum (pemilu). Tujuan pendidikan adalah ”mengajarkan anak didik untuk dapat berfikir secara rasional, independen dan baik” (Calahan & Clark, 1977: 76). Proses pendidikan melibatkan aspek penyadaran (self-realization), pemberian ilmu pengetahuan (self- knowledge) dan pengembangan potensi diri (self- development) (Calahan & Clark, 1977:74).
Pendidikan memiliki ”implikasi-implikasi normatif” (normatife implications) (Peters, 1966; dalam Barrow & Woods, 1975:10), bahwa harus ada sesuatu yang bernilai yang dicapai dengan cara-cara yang dapat diterima secara moral. Pendidikan dikatakan berhasil apabila peserta didik dapat menemukan sesuatu dalam dirinya, memiliki keterampilan dan mampu berbuat sesuatu. Proses pendidikan memadu kemampuan transformasi, pengetahuan dan pemahaman (Barrow dan Woods:17) yaitu menguasai suatu keterampilan, mengetahui cara-cara melakukan sesuatu, dan memiliki pengetahuan tertentu dan kerangka konseptual untuk mengembangkannnya. Dengan kata lain, orang yang terdidik adalah yang mampu mentransformasikan wawasannya dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya.
Pemilu dan Demokrasi
Pemilu merupakan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UU 3/1999, konsideran b & Pasal 1 (1). Bangsa indonesia telah sepakat bahwa pemilu harus diselenggarakan ”secara demokratis dan transparan, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas dan rahasia”.
Perkataan ”demokrasi” berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Jadi, dilihat dari asal katanya, demokrasi berarti pemerintahan yang berasal dari rakyat (of the people), dilaksanakan oleh rakyat (by the people) (Soemantri, 1999:3). Bagi bangsa-bangsa dinegara Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun 1945 hingga akhir masa orde baru telah dilaksanakan tiga jenis demokrasi di Indonesia. Pertama, Demokrasi Parlementer diterapkan mulai tahun 1945 dengan dikeluarkannya Maklumat nomor X (November 1945) oleh Wakil Presiden, Dr Mohammad Hatta dan berakhir pada tahun 1959 dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden (Soekarno) pada tanggal 5 Juli. Penerapana Demokrasi Parlementer di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Kabinet bersifat parlementer
2. Jatuh bangunnya pemerintah tergantung pada DPR
3. Tidak adanya satu partai politik yang dominan sehingga pemerintah bersifat koalisi yaitu gabungan antara berbagai partai politik
4. Pemerintah tidak berlangsung lama atau sering berganti
5. Demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya karena terlalu dominan sikap fanatisme
kelompok / partai
Kedua, Demokrasi Terpimpin, diterapkan dari tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan meletusnya peristiwa G 30S / PKI. Penerapan Demokrasi Terpimpin memiliki ciri-ciri sebagai berikut
a. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh Presiden (Soekarno)
b. Presiden dapat mengangkat anggota DPR
c. Presiden dapat membubarkan DPR
Ketiga, Demokrasi Pancasila, muncul pada masa pemerintahan Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto sebagai Presiden. Penerapan Demokrasi Pancasila memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Tidak ada pembagian kekuasaan negara secara jelas pada kekuatan eksekutif (pemerintah),
Kedua, Demokrasi Terpimpin, diterapkan dari tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan meletusnya peristiwa G 30S / PKI. Penerapan Demokrasi Terpimpin memiliki ciri-ciri sebagai berikut
a. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh Presiden (Soekarno)
b. Presiden dapat mengangkat anggota DPR
c. Presiden dapat membubarkan DPR
Ketiga, Demokrasi Pancasila, muncul pada masa pemerintahan Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto sebagai Presiden. Penerapan Demokrasi Pancasila memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Tidak ada pembagian kekuasaan negara secara jelas pada kekuatan eksekutif (pemerintah),
legislatif (DPR / MPR), dan yudikatif (kehakiman).
b. Kekuatan eksekutif lebih dominan daripada kekuatan legislatif dan yudikatif
c. Besarnya keterlibatan ABRI dalam bidang sosial politik
d.Adanya intervensi pemerintah yang luas dalam aktivitas partai politik dan organisasi
b. Kekuatan eksekutif lebih dominan daripada kekuatan legislatif dan yudikatif
c. Besarnya keterlibatan ABRI dalam bidang sosial politik
d.Adanya intervensi pemerintah yang luas dalam aktivitas partai politik dan organisasi
kemasyarakatan
e. Adanya satu kekuatan politik yang dominan, yaitu Golkar
Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting. Rakyat diberikan hak secara penuh dalam kehidupan politik maupun ekonomi dan hak-hak tersebut dilihat oleh pimpinan negara sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak politik antara lain adalah hak untuk menyatakan pendapat, hak berkumpul (berorganisasi), hak berpartisipasi dalam kehidupan politik, hak menentukan nasib sendiri, hak persamaan dalam hukum dan pemerintah dalam hukum dan pemerintah, dan hak bebas beragama (Sanit, 1999: 1-2).
e. Adanya satu kekuatan politik yang dominan, yaitu Golkar
Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting. Rakyat diberikan hak secara penuh dalam kehidupan politik maupun ekonomi dan hak-hak tersebut dilihat oleh pimpinan negara sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak politik antara lain adalah hak untuk menyatakan pendapat, hak berkumpul (berorganisasi), hak berpartisipasi dalam kehidupan politik, hak menentukan nasib sendiri, hak persamaan dalam hukum dan pemerintah dalam hukum dan pemerintah, dan hak bebas beragama (Sanit, 1999: 1-2).
Mengapa Voter Education ?
Hasil riset yang dilakukan oleh Asia Foundation 1998 menyimpulkan bahwa kurang demokratisnya pelaksanaan pemilu di Indonesiapada masa Orde Baru, selain disebabkan oleh banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah dan parpol kontestan pemilu. Hasil riset ini menyadarkan bahwa harus ada upaya-upaya kependidikan untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia menjelang pelaksanaan pemilu. Menjelang pelaksaan pemilu di era reformasi, upaya-upaya tersebut semakin penting, karena empat alasan sebagai berikut.
Pertama, beberapa peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan pemilu telah diperbaharui pemerintah reformasi sehingga menjadi sesuatu yang ”baru” bagi masyarakat. Kedua, pemilu di era reformasi melibatkan banyak partai yang memiliki bendera dan ”baju” yang berbeda-beda. Ketiga, merebaknya isu money politic. Bila tidak dibekali dengan pengetahuan yang memadai tentang hakikat pemilu, rakyat akan menyalurkan hak suara mereka pada parpol ”tertentu”. Keempat, merebaknya premanisme politik, selain dapat juga mengganggu ketertiban, premanisme politik juga menyebarkan rasa takut sehingga rakyat tidak dapat menentukan pilihan politik secara rasional.
Pemahaman seluruh rakyat tentang nilai-nilai demokrasi dan kesadarannya dalam berpartisipasi dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis, jujur dan adil adalah taruhan bagi tegaknya Indonesia baru yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat.
Aspek-aspek Voter Education
Agar dapat berjalan secara efektif, pelaksanaan Voter Education bagi masyarakat hendaknya memperhatikan beberapa aspek berikut.
1. Tujuan, pelaksanaan Voter Education harus memiliki tujuan yang jelas
2. Target, diharapkan tercapai setelah akhir program Voter Education
3. Materi Voter Education mencakup tentang sistem demokrasi, aspek-aspek penyelenggaraan
pemilu, situasi politik di Indonesia, teknik komunikasi dan teknik advokasi.
4. Sasaran utamanya, para calon pemilih muda yang masih duduk sekolah maupun kuliah serta
4. Sasaran utamanya, para calon pemilih muda yang masih duduk sekolah maupun kuliah serta
masyarakat kurang terdidik yang berada ditempat terpencil atau pedesaan.
5. Program Voter Education dilakukan dalam bentuk penyuluhan dengan metode ceramah, tanya
5. Program Voter Education dilakukan dalam bentuk penyuluhan dengan metode ceramah, tanya
jawab, dan diskusi
6. Pelaksanaan program Voter Education ialah para instruktur yang memenuhi kriteria-kriteria yang
6. Pelaksanaan program Voter Education ialah para instruktur yang memenuhi kriteria-kriteria yang
ada
Etika Komunikasi
Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, kegiatan komunikasi perlu memperhatikan etika-etika. Ada tiga etika yang perlu diperhatikan dalam komunikasi. Pertama, menumbuhkan sikap percaya melalui komunikasi yang terbuka, jujur dan mendalam. Kedua, mengembangkan sikap sportif dengan menyampaikan pesan-pesan deskriptif, berorientasi pada masalah spontan, empati dan tidak mutlak-mutlakan. Ketiga, mengembangkan sikap terbuka dengan cara siap menerima informasi dari manapun.
Dengan berbekal teknik komunikasi, diharapkan bahwa para pelatih Voter Education benar-benar tampil sebagai sosok yang profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya dilapangan. Hanya dengan profesionalisme program Voter Education dapat berjalan efektif. Efektif atau tidaknya program Voter Education diseluruh Indonesia akan besar artinya bagi suksesnya pemilu dan tegaknya demokrasi dinegeri tercinta
VII. Radio dan Pendidikan Politik Masyarakat
Radio adalah keseluruhan sistem gelombang suara yang dipancarkan dari suatu stasiun dan kemudian dapat diterima oleh berbagai pesawat penerima baik dirumah, dikapal, dimobil dan sebagainya. Keberadaan radio sebagai salah satu sarana komunikasi massa tidak pernah surut meskipun bermunculan sarana komunikasi massa yang menggunakan teknologi lebih canggih.
Radio Sebagai Pembentuk Opini Publik
Opini publik adalah ”himpunan pandangan dan sikap yang dimiliki oleh kelompok dan individu yang ada dalam masyarakat” (Elowitz, 1999:36). Dengan berbagai teknologi informasi baru, para jurnalis dapat mendesain paket-paket publikasi yang memiliki jangkauan pengaruh luas.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi opini publik. Elowitz (1996 :26-27) mengidentifikasi 10 faktor, yaitu keluarga, identifikasi terhadap keluarga, dan partai, pengaruh keluarga dan sikap terhadap otoritas politik, sekolah, kelompok sepermainan (peers group), media, peristiwa generasional, ras, agama, tempat kelahiran dan gender. Dalam sejarah perkembangan politik dunia, radio sudah sejak lama media yang sering diandalkan oleh banyak kekuatan politik untuk meraih dukungan publik.
Hubungan Radio dan Politik
Media dan politik memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Media membutuhkan proses politik yang dinamis sebagai sumber berita dan proses politik membutuhkan media untuk menghidupkan dan memelihara dinamikanya. Dalam tatanan politik, menurut Thomas Jefferson (1787), keberadaan media massa bagi suatu masyarakat bahkan lebih penting daripada keberadaan suatu pemerintahan. Ia menulis : ”Were it left to me to decide whether we should have a government without newspaper, or newspaper without a government, I should not hestitate a moment to prefer the latter (Elowitz 1996: 24).
Sebagai salah satu sarana komunikasi massa, radio dapat memberikan manfaat yang besar bagi para politisi. Radio dibutuhkan oleh insan-insan politik untuk mendapatkan dukungan. Mendapat simpati dari berbagai jenis media, termasuk radio adalah asset penting bagi suatu kelompok politik (partai politik).
Radio dan Komunikasi Politik
Radio memiliki banyak fungsi, dapat pula melaporkan banyak hal, mulai dari aksi (action) atau inaksi (inaction) pemerintah, prilaku politik, para pelayan public, berbagai hal yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Dalam system politik yang otoriter atau totalier, biasanya ada system ideology yang tertutup dan penafsiran terhadap ideology dimonopoli oleh penguasa.
Komunikasi politik biasanya dimanfaatkan oleh penguasa untuk memelihara dan memperkuat kekuasannya, termasuk sebagai senjata untuk meneroro mental masyarakatnya agar mereka taat dan patuh pada kekuasannya yang semen-mena dan menakutkan itu. Komunikasi politik berlangsung satu arah, dari atas (penguasa) ke bawah (masyarakat) dan bersifat indoktrinatif, dimana kebenaran ideology menurut pendapat penguasa adalah satu-satunya kebenaran.
Radio dan Demokratisasi
Media, termasuk radio berperan penting dalam menghidupkan dan memelihara komunikasi dan system politik tertentu, termasuk dalam membangun sistem politik yang demokratis. “Dalam Kenyataannya”, tulis Adam (2000 :7), “pers adalah salah satu pilar demokrasi”. “Information is the essence of democracy”, tulis Elowitz (1996 :7), “merupakan dasar penting untuk system demokratis”.
Dalam sistem demokrasi, media tidak perlu ragu-ragu memainkan peran-peran tersebut karena biasanya kebebasan media dilindungi oleh undang-undang baik dalam kerangka hukum nasional maupun internasional. Saat ini, insane-insan media sering berargumentasi bahwa persoalannya tidak terletak pada bagaimana media menyajikan informasi, tetapi terletak pada selera publik yang lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat hiburan.